Bidadari Turun di Suroba

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Ayos Purwoaji|22953|PAPUA 2|28

Bidadari Turun di Suroba

Redaksi Detik Travel - detikTravel
Jumat, 20 Mei 2011 13:00 WIB
loading...
Redaksi Detik Travel
Pelangi yang muncul sehabis hujan, membingkai manis perbukitan di Suroba.
Induk kerbau yang tak tahu teknologi, ia hampir saja menyeruduk saya.
Jembatan kayu yang indah menuju Kampung Suroba.
Meagun Kosai, salah satu tetua Suku Dani di Suroba.
Bidadari Turun di Suroba
Bidadari Turun di Suroba
Bidadari Turun di Suroba
Bidadari Turun di Suroba
Jakarta -

Sebuah pesawat bertipe twin otter membawa kami ke Wamena, perjalanan ini memakan waktu limapuluh menit saja. Ini adalah kali pertama saya menggunakan pesawat jenis ini, menurut saya rasanya sama seperti naik bus Sumber Kencono dengan rute Surabaya - Yogyakarta. Berkali-kali saya harus menahan nafas karena pesawat tiba-tiba turun dengan cepat atau berguncang karena turbulensi.

Tapi terimakasih Tuhan, kami tiba dengan selamat di Bandara Wamena.

Selanjutnya kami langsung menuju Hotel Baliem Pilamo yang tak jauh dari bandara. Sebetulnya, semua tempat tidak jauh di Wamena, karena ini adalah sebuah kota kecil, jadi semua bisa dijangkau dengan cepat, selama masih berada di wilayah pusat kota kabupaten.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bang Herman, guide kami selama id Wamena langsung menawarkan city tour setelah kami selesai check in. Tujuan kami adalah Pasar Jibama, Jembatan Wesaput, dan Kampung Suroba. Ini adalah tiga destinasi penting yang patut dikunjungi oleh siapa pun wisatawan yang berkunjung ke Wamena. Tempat-tempat ini adalah bahan pemanasan yang pas sebelum mengeksplorasi lebih jauh ke Lembah Baliem.

Setelah puas mengunjungi Pasar Jibama dan Jembatan Wesaput, saya dan Mas Sukma langsung dibawa menuju Kampung Suroba. Ini adalah salah satu kampung Suku Dani, salah satu suku paling besar yang ada di Wamena.

Selama perjalanan saya disuguhi banyak pemandangan menarik, tentu saja insting tukang foto saya mencuat. Berkali-kali saya minta berhenti barang sejenak kepada sopir hanya untuk mengambil gambar pemandangan yang menurut saya layak untuk dijepret.

Salah satu obyeknya adalah sebuah padang luas dengan background pegunungan dengan beberapa ekor kerbau yang asyik merumput. Saya pun turun dari mobil untuk mengambil beberapa foto. Kebetulan ada seekor kerbau betina bertanduk super yang sedang menunggu anaknya yang main terlalu jauh di seberang jalan.

Saya mendatangi kerbau betina itu dengan perlahan, bebarengan dengan sang anak yang datang dari seberang jalan. Dengan sangat hati-hati saya keluarkan kamera, mencoba untuk mengambil gambar sepasang kerbau, induk dengan anaknya.

Namun, rupanya Sang Induk tidak paham benda apa itu kamera. Dia mulai mendengus kesal, saya, Petualang ACI Tim Papua II ini dikira ancaman. Akhirnya ia mulai beraksi, mengejar saya sambil terus mendengus dan mengibaskan tanduknya. Saya lari tidak karuan, kontur tanah yang tidak rata dan penuh ilalang membuat saya kesulitan. Sebuah foto matador apes yang diseruduk banteng terbayang dalam benak saya. Berganti-ganti dengan gambar Rumah Sakit Wamena dengan cepat.

Untung saja kerbau Toraja ini tidak murka dalam waktu lama. Saat saya pergi menjauh dan sudah dirasa tidak lagi mengancam, perlahan ia mulai bisa tenang. Saya terus mundur sambil mengambil beberapa gambar lagi, dan ia pun kembali ke koloninya.

Perjalanan pun kami lanjutkan ke Kampung Suroba. Sejak memotret kerbau tadi memang langit sudah mendung dan sekarang hujan mulai turun teratur, Sebagai daerah di dataran tinggi yang diapit oleh bukit dan pegunungan, curah hujan di Wamena memang sangat tinggi.

Tiba di Kampung Suroba kami disambut oleh sebuah gapura khas Wamena yang melengkung dan beratap jerami. Setiap desa memang memiliki bentuk gapura yang identik. Ini adalah ciri khas yang belum pernah saya dapatkan di daerah lain.

Untuk masuk ke pemukiman, kami harus sedikit trekking selama setengah jam. Jalur setapak tanah menjadi licin akibat hujan yang sudah berhenti. Kami terus berjalan hingga sebuah bukit muncul di depan kami. Yang bikin merinding adalah, karena ini setelah hujan, maka samar-samar pelangi muncul membingkai perbukitan. Sangat indah!

Menurut legenda Jaka Tarub, pelangi adalah tangga yang digunakan para bidadari nirwana yang sedang ingin main ke dunia. Maka saya rasa Kampung Suroba adalah tempat yang tepat untuk turun. Barisan pohon pinus yang segar dan sungai yang jernih adalah tempat pelesir yang tepat bagi para bidadari surga.

Sampai di perkampungan, kami disambut oleh Meagun Kosai, salah satu tetua kampung Suku Dani. Saat kami datang, dia memeluk saya dan Mas Sukma. Itu memang salam yang khas di Wamena.

Meagun menawari kami ke dapurnya, lalu ia membakar hipere (ketela rambat) untuk kami makan bersama. Senangnya dengan bebas saya bisa mengambil foto dirinya. Menurut saya Meagun cukup funky, ia mengenakan topi bulu ayam, bertelanjang diri dan hanya mengenakan koteka. Ini adalah gambar yang saya idamkan. "Kamu mau koteka? Nanti kalau sudah matang, saya buatkan," kata Meagun sambil menunjuk deretan pohon labu muda di kebun kecilnya. Koteka memang terbuat dari buah labu yang dikeringkan.

Pulang dari Suroba, hujan sudah benar-benar berhenti, langit sudah gelap, dan di hotel kami repot karena harus membersihkan sandal kotor yang dipenuhi lumpur dan tahi babi.

Hide Ads