Perahu milik Pak Yosef Keraf mendekat ke bibir pantain Lamalera sore hari (13/10/10). "Itu kapal saya pulang menangkap ikan," ungkap beliau, disela pembicaraan kami mengenai tradisi penangkapan paus yang dimiliki Desa Lamalera. Ujung hitam seekor ikan terlihat mencuat dari kejauhan. Penasaran saya menanti mereka segera berlabuh.
"Ya, Tuhan!" seru saya dalam hati. Yang saya lihat adalah ekor lumba-lumba. Masih tersimpan di benak, mamalia laut itu melompat-lompat kegirangan di Teluk Kiluan, Lampung Selatan. Dan betapa sibuknya saya mengabadikan momen di bulan Juni yang lalu. Kini, dia terbujur kaku dengan luka menganga di bagian punggungnya. Bulu kuduk saya berdiri seketika. Para nelayan segera menurunkan hasil tangkapan ketika perahu mencapai pinggiran pantai. Menariknya jauh dari terjangan ombak.
Dengan cepat air laut berubah warna menjadi merah. Darah hewan malang itu bercampur dengan birunya air laut. Saat mereka sibuk menyimpan perahu di 'garasi', saya dekati lumba-lumba yang badannya telah mengeras. Saya sangat sedih, tapi tidak ada yang dapat dilakukan. Itu sudah tradisi dari leluhur nenek moyang dan kondisi tanah yang berbatu dan keras di Lamalera membuat mereka bergantung dari hasil laut. Hal itu juga menjadi alasan mereka untuk menguburkan jenazah dengan menggunakan semen. Tidak digali dalam tanah seperti pada umumnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT












































Komentar Terbanyak
Kisah Sosialita AS Liburan di Bali Berakhir Tragis di Tangan Putrinya
Keraton Solo Memanas! Mangkubumi Dinobatkan Jadi PB XIV
Drama Menjelang Penobatan Raja Baru Keraton Solo