Rafting atau arung jeram. Mendengar namanya dan menyaksikan kegiatannya di televisi bikin merinding. Tapi ternyata setelah mengalaminya sendiri, jadinya mau lagi dan lagi!
Tahukah Anda? Rafting sudah dimulai setelah Perang Dunia ke-2. Sekelompok pecinta alam dan pecinta adventure mulai mencoba menelurusi sungai di Colorado. Awalnya mereka hanya menggunakan perahu karet bekas Perang Dunia ke-2. Lama-kelamaan kegiatan ini mulai berkembang. Bukan hanya perahu karet saja yang digunakan untuk menelurusi sungai tetapi juga canoe (kano), kayak, dan lain-lain.
Di Indonesia sendiri rafting dimulai sekitar tahun 1970an. Istilah yang dikenal saat itu bukan rafting, melainkan ORAD; Olah Raga Arus Deras. ORAD dipelopori oleh para pecinta alam dari Bandung (WANADRI) dan Jakarta (MAPALA UI). Olah raga ini kemudian menjadi salah satu olah raga petualangan yang paling diminati oleh para pecinta alam. Lantas pada tahun 1975, WANADRI menggelar acara Citarum Rally I. Sekitar tahun 1975, Mapala UI mengembangkan juga olah raga ini dengan istilah arung jeram. Sampai sekarang kita mengenal olah raga ini dengan arung jeram atau rafting.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah satu kegiatan yang paling ditunggu dari perjalanan kami adalah rafting di Citarik bersama Caldera!
Tepat pukul 8 kami berkumpul di depan lokasi penyimpanan perlatan rafting yang terletak di lahan-1 Caldera. Bila ditanya siap atau tidak, kami selalu siap karena inilah saatnya! Kami dipandu oleh seorang pria bernama Rahmat. Setelah mengenakan pelampung dan helm, kami dibekali dayung. Dari arah lahan-2 lantas berdatangan 4 pria yang merupakan team rescue yang siap menyelamatkan kami bila ada yang terjatuh dari perahu karet dan hanyut.
Setelah siap, saatnya menuju titik keberangkatan yang letaknya kira-kira 20 menit dari parkiran Caldera menggunakan mobil pick-up. Di atas mobil terdapat 2 perahu karet yang belum dikembungkan.
Di titik keberangkatan perahu-perahu karet dipompa. 1 perahu karet untuk kami dan pak Rahmat, 1 lagi untuk team rescue. Wah... inilah saat yang ditunggu-tunggu. Satuper-satu kami naik ke atas perahu. Lantas pak Rahmat memulai briefing singkat tentang rafting ini dimulai dari bagaimana cara memegang dayung hingga berbagai aba-aba yang penting kami perhatikan bila telah meluncur di aras arus sungai Citarik nantinya. Salah satu yang tidak akan pernah kami lupakan adalah, "pindah ke kiri!"
Perlahan perahu karet mulai melaju, sementara perahu karet team rescue telah mendahului kami. Petualangan di atas Citarik pun dimulai. Kami mulai menjerit-jerit tak karuan. Arus sungai Citarik sedang-sedang saja, cukup aman untuk diarungi oleh kami yang masih pemula. Saat pak Rahmat berteriak, "maju!" semangat kami mendayung maju demikian pula sebaliknya. Di beberapa titik arus menggila. Sebelumnya pak Rahmat pasti menyarankan kami untuk memantapkan pijakan kaki agar tidak tercebur. Namun di kesempatan lain kami yakin beliau pasti akan sangat senang melihat kami tercebur karena suasana menjadi tambah ramai antara jeritan dan tawa membahana. Seru adalah kata yang pantas untuk menggambarkan kegiatan ini.
Di sepanjang Citarik, 2 kali kami bertemu biawak yang seukuran betis orang dewasa. Sayang kami tidak membawa kamera jadi tak bisa mengabadikannya.
Sekitar 1,5 jam kami meluncur di atas Citarik diiringi dengan getaran saat perahu menabrak batu, aksi tercebur yang heboh gara-gara "pindah ke kiri!"-nya pak Rahmat, tawa terbahak-bahak dan jeritan melengking setiap melintasi arus deras menggila. Rasanya 1,5 jam terlalu sedikit! Rafting memang bikin merinding tapi setelah mengalaminya sendiri, jadinya mau lagi dan lagi! Apalagi kami dikawal oleh pemandu-pemandu handal dan terpercaya dari Caldera Indonesia.
So... Rafting? Siapa takut! (travel/travel)












































Komentar Terbanyak
Awal Mula PB XIV Purbaya Gabung Ormas GRIB Jaya dan Jadi Pembina
Fadli Zon Bantah Tudingan Kubu PB XIV Purbaya Lecehkan Adat dan Berat Sebelah
5 Negara yang Melarang Perayaan Natal, Ini Alasannya