Setelah merasakan malam paling romantis dalam hidup kami di Baliem Valley Resort, saya dan Mas Sukma harus bergegas menuju Bandara Wamena untuk mengejar jadwal penerbangan kami ke Jayapura pada pagi harinya (20/10). Jarak antara resor dengan bandara sebenarnya tidak begitu jauh, bisa ditempuh selama satu jam saja. Menurut jadwal, pesawat Trigana Air yang kami tumpangi akan berangkat pada jam 11.00 WIT, maka sejak satu jam sebelumnya kami sudah standby untuk check in.
Sepuluh menit setelahnya kami sudah berada di deretan ruang tunggu yang penuh orang. Kami masuk tanpa pemeriksaan. Scanner x-ray di Bandara Wamena memang sama sekali tidak berfungsi, malah dimanfaatkan sebagai sarana mainan darurat bagi para orang tua yang ingin menghibur anaknya selama menunggu boarding. Seandainya kami ini adalah dua orang penyelundup narkotika, maka sudah pasti kami akan lulus terbang tanpa halangan.
Wajah tampan saya dan Ayos yang habis mandi masih berseri-seri. Selama menunggu panggilan boarding, kami mengisi waktu dengan bercanda dan tertawa. Sesekali kami juga mengambil kesempatan untuk melirik beberapa penumpang wanita berwajah manis yang memang menjadi barang langka selama di Wamena. Sesekali Ayos membuka buku kumpulan folklore suku Yali pemberian Bang Herman untuk dibaca.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejak itu jadwal penerbangan pun berubah.Β Β
Setelah menunggu satu dua jam kami mulai merasa gerah. Mengapa nama kami berdua belum juga dipanggil untuk boarding? Padahal dua pesawat kecil milik Trigana Air yang diparkir sebelumnya sudah tinggal landas menuju Yahukimo dan Jayapura. Memang agak aneh juga, di Wamena, jadwal penerbangan tidak dapat diperhitungkan dengan pasti. Berbagai alasan menjadi kendala disiplin waktu penerbangan.
Satu hal yang pasti di Wamena adalah: semua benda menjadi mahal berlipat-lipat dibandingkan dengan harga di Jawa. Salah satu contohnya adalah seplastik kecil kacang bawang yang dihargai sepuluh ribu rupiah. Setahu saya untuk benda yang sama hanya dijual lima ratus rupiah di Jawa. Tapi terpaksa juga kami beli, untuk mengusir rasa suntuk menunggu jadwal flight yang molor dan perut keroncongan karena sudah masuk jam makan siang.
Tidak lama kemudian sebuah pesawat Trigana Air datang dengan tipe twin otter. Kami yang sudah putus asa seperti mendapatkan angin segar kembali. Serentak para penumpang Trigana Air tujuan Jayapura yang terkatung-katung merapat ke arah pintu keluar untuk boarding. Tidak ada pemberitahuan sebelumnya, ini pesawat tujuan kemana. Ternyata kami salah, lagi-lagi ini adalah pesawat menuju Yahukimo.
Kami pun kembali ke tempat duduk dengan lemas. Muka saya dan Ayos sudah tertekuk setelah hampir empat jam menunggu. Namun setidaknya kesialan itu kami bagi rata, sepasang pasutri Jerman yang sebenarnya mendapat jatah penerbangan kedua harus rela menunggu hingga kering di ruang tunggu dengan kursi yang tidak ergonomis bagi anatomi penduduk Eropa. Selama menunggu datangnya pesawat, sang suami berkacak pinggang tanda kesal. Memang seharusnya pagi hari ini mereka sudah tiba di Jayapura untuk melakukan trip di Danau Sentani, lalu esoknya mereka harus terbang ke Sorong untuk diving di Raja Ampat. Sayangnya, hingga menjelang sore hari pasangan tua ini masih harus terjebak di Wamena, ratusan kilometer dari Jayapura.
Jadwal penerbangan yang kacau turut membuyarkan jadwal perjalanan mereka. Rencana sehari menikmati Danau Sentani pupus sudah, uang mereka pun hangus di tangan jasa travel. "This is crazy, crazy!" umpat sang suami terus menerus.
Lebih buruk lagi, kami tidak bisa melakukan complain ke pihak maskapai. "Lebih baik jangan, Dik. Bisa-bisa malah kita dipersulit tidak bisa terbang hari ini," kata seorang bapak yang bekerja untuk UNICEF. Dia mengaku sering berpergian Jayapura-Wamena, jadi sudah terbiasa dengan jadwal tak terduga seperti ini.
Akibatnya saya dan Ayos tidak bisa makan siang, sedangkan perut kami sudah sangat keroncongan. Bagaimana bisa kami tenang makan, jika sewaktu-waktu pesawat datang dan boarding dalam waktu singkat, maka kami akan kehilangan kesempatan terbang. Jika memang terjadi, itu artinya harus menginap semalam lagi di Wamena dengan biaya hidup yang harus kami tanggung secara pribadi.
Tiba-tiba pukul 14.00 WIT sebuah pesawat twin otter tiba. Kami semua, para penumpang Trigana Air menuju Jayapura kembali bangkit dari kursi. Sekali lagi kami mendekat di pintu keluar. Seorang petugas datang, lalu berteriak,"Untuk yang tiketnya berwarna kuning, silahkan masuk!"
Tiket saya dan Ayos berwarna biru. Sekali lagi kesempatan kami terbang hilang. Penumpang lain yang baru saja tiba, namun 'kebetulan' memiliki tiket berwarna kuning justru bisa boarding lebih dulu. Saya baru sadar, di Indonesia ini ada penerbangan yang melihat warna tiket, bukan nomor penerbangan untuk menentukan siapa yang bisa boarding .
"Kira-kira kita bisa terbang kapan ya, Yos?" tanya saya. "Hanya Tuhan yang tahu, Mas," jawab Ayos, sambil cekikikan.
Saya kira juga demikian. Di Wamena ini, hanya Tuhan lah yang tahu pasti jadwal penerbangan setiap maskapai. Fix, delay, atau cancel, Tuhan lah yang mengatur. Sebagaimana adagium kuno; manusia hanya bisa merencanakan, Tuhan yang menentukan.
Dia, Yang Maha Kuasa, pula yang bisa mendatangkan satu buah twin otter Trigana Air sebelum jam lima sore untuk mengangkut kami ke Jayapura. Kedatangan pesawat itu disambut tepuk tangan yang meriah oleh setiap penumpang yang tersisa, ada pula yang ber-suit-suit dan ber-prikitiew ria, sebagai tanda syukur. Terimakasih Tuhan.












































Komentar Terbanyak
Awal Mula PB XIV Purbaya Gabung Ormas GRIB Jaya dan Jadi Pembina
Fadli Zon Bantah Tudingan Kubu PB XIV Purbaya Lecehkan Adat dan Berat Sebelah
5 Negara yang Melarang Perayaan Natal, Ini Alasannya