Waktu masih seperempat malam ketika saya dan team berangkat naik mobil menuju Gunung Bromo dari Kota Batu. Perjalanan dimulai ke arah Probolinggo melewati Tosari, sepanjang perjalanan sangat sepi dan dingin. Jalan berkelok-kelok diselingi dengan belokan tajam mengiringi perjalanan kami ke Tosari. Perjalanan yang sangat ekstra hati-hati ditambah kewaspadaan tinggi karena di sepanjang jalan sangat jarang sekali terdapat rambu petunjuk jalan dan tidak tersedia penerangan jalan yang memadai.
Tidak akhirnya sampai juga di pintu gerbang Tosari. Disini kami harus membeli tiket masuk sebesar Rp. 3.000/orang dan untuk mobil Rp. 6.000. Tetapi ini bukanlah akhir dari perjalanan kami, justru ini awal dari perjalanan kami. Disini kami harus memarkir mobil yang kami bawa dan harus menyewa mobil hardtop dengan supir yang merupakan warga sekitar. Biaya sewa hardtop sekitar Rp. 300.000 untuk rute Tosari β Penanjakan β Padang Pasir Bromo PP. Ini kami lakukan karena jalan menuju penanjakan dan padang pasir bromo sangat curam dan berkelok-kelok, untuk itu dibutuhkan mobil hardtop yang kuat untuk menanjak dan melibas lautan pasir.
Perjalanan ke penanjakan sendiri memakan waktu sekitar 30 menit. Lokasi yang menjadi favorit para wisatawan untuk melihat matahari terbit ini ternyata sudah mulai dipenuhi para wisatawan. Namun tidak sedikit diantara para wisatawan yang berhenti sejenak di warung-warung sepanjang jalan untuk sekedar menyewa jaket atau sekedar menyeruput kopi untuk menghangatkan diri sebelum melanjutkan perjalanan. Kami pun melakukan hal yang sama, menyempatkan menikmati sensasi meminum kopi di penanjakan yang terkenal dengan cuacanya yang dingin. Setelah menikmati kopi perjalanan pun kami lanjutkan ke penanjakan untuk melihat matahari terbit secara langsung. Dinginnya penanjakan seperti hilang saat sang fajar terbangun dari tidurnya dan kami tak lupa mengabadikan hal tersebut.
Setelah matahari agak tinggi kami melanjutkan perjalanan ke padang pasir bromo. Jalanan ke padang pasir tidak mulus karena banyaknya lubang sepanjang jalan dan ditambah jalan yang berkelok-kelok. Sulitnya medan membuat supir harus beberapa kali menggunakan gigi 1 pada beberapa tanjakan. Saya pun sempat berpikir βmobil hardtop saja harus bersusah payah begini, apalagi mobil-mobil biasa seperti sedanβ.
Hardtop yang kami tumpangi akhirnya berhenti juga di padang pasir yang luas dan perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki. Sebenarnya warga sekitar menyediakan kuda sebagai alat transportasi untuk ke kaki tangga Gunung Bromo. Tapi saat itu kami memilih berjalan kaki untuk menikmati sensasi berjalan di padang pasir yang cukup luas. Rasa capek yang melanda ketika melewati padang pasir dan angin pasirnya seperti terbayar lunas saat kami tiba di kaki tangga gunung bromo. Semangat pun kembali untuk segera melihat secara langsung kawah bromo. Sayang saat kami tiba festival tahunan yang biasa digelar telah berakhir dan kami pun harus puas hanya melihat asap putih yang mengepul serta bau belerang yang menyengat dari bibir kawah bromo yang tersohor.
Namun itu semua sudah lebih dari cukup bagi kami, karena kami dapat menyaksikan keindahan Bromo yang terangkum di puncaknya. Selain keindahan alam, ada aneka rerumputan, padang pasir yang luas dan pura yang bisa kita nikmati dari puncak Bromo. Pemandangan seperti ini tentu akan memanjakan mata kita seraya mengucap syukur atas segala keindahan cipta-Nya.












































Komentar Terbanyak
Koster: Wisatawan Domestik ke Bali Turun gegara Penerbangan Sedikit
Ditonjok Preman Pantai Santolo, Emak-emak di Garut Babak Belur
Awal Mula PB XIV Purbaya Gabung Ormas GRIB Jaya dan Jadi Pembina