Keceriaan di Tutari

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Ayos Purwoaji|22953|PAPUA 2|28

Keceriaan di Tutari

Redaksi Detik Travel - detikTravel
Rabu, 02 Mar 2011 11:30 WIB
loading...
Redaksi Detik Travel
Anak-anak ini dengan suka cita mengajak saya untuk melakukan tour kecil di Tutari. Dengan antusias mereka memberi tahu batu apa saja dengan segala gambar yang ada di atasnya.
Keceriaan di Tutari
Jakarta -

Sebetulnya kami salah waktu mengunjungi situs purba ini. Pada hari Minggu, kantor kecil milik Dinas Pariwisata Daerah yang menjadi pintu masuk situs ini memang tutup. Baru buka lagi hari Senin. Tapi saya tidak hilang akal. Pasti ada jalan lain yang bisa dilewati untuk masuk dalam bukit penuh batu bergambar ini.

Akhirnya saya mendatangi sebuah pendapa desa di mana siang itu banyak anak lelaki yang sedang sibuk bermain lompat tali. Seorang pria tua duduk di pojokan sambil mengisap sigaret dan mematut senapan angin. Saya datang perlahan dengan senyum terkembang. Mencoba menyapa dan menanyakan bagaimana saya bisa masuk dalam Bukit Tutari. Bapak tua itu menjawab menggumam dengan bahasa daerah. Saya berkali-kali permisi agar sang bapak mengulangi jawabannya. Mendekatkan cuping telinga juga ternyata sama saja, bapak ini hanya bergumam tidak jelas.

Hingga seorang anak dengan mata cerdas datang menghampiri, namanya David, ia baru kelas lima SD. Sambil tersenyum, ia berbicara dengan percaya diri,”Kakak mau lihat batu? Sini saya antar!” katanya. Saya pun tersenyum mendengar ajakannya yang sederhana ini. β€œBoleh, ayo tunjukkan kakak!” kata saya bersemangat.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Akhirnya David memimpin saya berjalan, saya di belakang mengikuti saja, sambil bertanya beberapa hal. Tiba-tiba tanpa saya sadari anak-anak yang tadi sibuk bermain juga mengikuti kami, total ada sekitar dua belas anak yang ikut serta. Saya jadi tambah senang dibuatnya, apalagi mereka selalu tersenyum dan dengan antusias menjelaskan saya tentang banyak hal.

Mas Sukma yang menunggu di mobil pun saya ajak bergabung. Trekking di siang hari dengan anak-anak lokal adalah sebuah hal yang luar biasa. Mendengar mereka berbicara saja sudah membuat kita lupa akan rasa lelah.

Ternyata anak-anak kecil ini mengantar kami pada sebuah jalan setapak yang menuju atas bukit. Tidak perlu lewat kantor Dinas Pariwisata yang sedang tutup.

β€œIni bergambar buaya, Kakak!” kata David sambil menunjuk sebuah batu besar dengan atap seng di atasnya. β€œOrang dulu suka sekali menangkap buaya di Danau Sentani,” kata David mencoba member penjelasan yang masuk akal. Memang dari semua batu yang kami lihat, gambarnya tidak lepas dari kehidupan danau; ikan, manusia, kalajengking, dan buaya. Simbol-simbol inilah yang paling dekat dengan kehidupan masyarakat Sentani purba.

Gambar-gambar ini mengingatkan saya pada lukisan purba di Gua Lascaux di Perancis. Karena memiliki pola yang sangat sederhana dan naif, selain itu bercerita tentang hewan-hewan yang dekat dengan kehidupan. Tapi saya pikir lukisan di Tutari jauh lebih hebat, karena selama ribuan tahun tidak terhapus akibat panas dingin cuaca tropis. Gambar-gambar berwarna putih itu dibiarkan saja di alam terbuka, tidak seperti lukisan di Gua Lascaux yang masih terlindung dari sengatan matahari dan semburan air hujan.Β 

Bersama anak-anak kecil ini kami trekking semakin jauh ke atas bukit. Di sini yang kami temukan tidak lagi berupa batu besar bergambar melainkan batu-batu menhir kecil yang berdiri. Saya teringat pada Obelisk di komik Asterix. Konon, menurut anak-anak yang membimbing kami, batu berdiri memiliki kekuatan magis. β€œCoba saja kakak jatuhkan satu, pasti besok pagi kembali berdiri lagi,” kata seorang anak sambil menendang jatuh sebuah batu. Saya sendiri sih takut kualat, jadi saya tersenyum saja.

Batu-batu yang berdiri ini tampak memandang ke arah Danau Sentani dari puncak Bukit Tutari. Mereka, batu-batu purba ini diam saja memandang takzim ke arah danau selama ribuan tahun. Seperti patung-patung wajah raksasa di Pulau Paskah yang memandang kea rah yang sama. Saya melihatnya dengan takjub, sambil bertanya-tanya apakah orang Sentani purba membuatnya untuk berdoa, sebagai barang seni, penunjuk waktu matahari, atau sekedar iseng belaka. Sama seperti bebatuan megalitikum di Stonehenge, Inggris yang menyimpan rahasia selama puluhan abad.

Menjelang sore, anak-anak kecil ini mengantar kami pulang. Sambil menuruni anak tangga yang mengular, saya berpesan agar mereka selalu berbuat baik, menunjukkan jalan pada wisatawan yang tersesat dan menjelaskan setiap lukisan yang ada di batu-batu Tutari pada setiap orang yang datang. []

Β 

Silahkan lihat foto lain tentang anak-anak di Tutari pada link ini: http://de.tk/hwdYE

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads