Saat pergi ke Papua, itu berarti saya merasakan masa depan dua jam terlebih dahulu ketimbang Indonesia bagian barat. Kota Jayapura memiliki mentari pagi dua jam lebih cepat daripada Jakarta atau Padang. Maka jika saya berpindah dari zona WIB ke WIT, berarti saya pergi ke masa depan.
Namun anggapan saya berubah seketika saat menginjakkan kaki di Wamena dan melihat upacara bakar batu milik Suku Dani. Rasanya saya mundur ribuan tahun ke belakang. Praktik purba yang diperkirakan berumur 4000 tahun ini masih bisa dijumpai di Wamena. Menjadi daya tarik utama yang tidak pantas dilewatkan bagi siapa pun yang berkunjung ke Kabupaten Jayawijaya.
Sebetulnya Bang Herman, guide kami sudah memberitahu dalam SMS, bahwa upacara bakar batu akan dilaksanakan pukul sepuluh pagi. Tapi sampai jam 9.12 WIT saya masih berkutat di sebuah warnet, mencoba meng-upload artikel ke situs ACI yang selalu gagal. Ini adalah satu dari empat buah warnet yang tersebar di seluruh penjuru kota Wamena, serta satu-satunya yang buka 24 jam non-stop dengan fasilitas kopi dan snack. Sayangnya setiap 5 menit servernya down. Jadi semua materi yang sudah matang untuk diunggah, tinggal di-klik, tidak jarang harus diulang dari awal.
Tapi tentu saja seorang petualang ACI harus pantang stres. Maka dengan tekun saya ulangi lagi proses upload yang melelahkan itu. βWaduh ini billing argo kuda! Masak belum berhasil masuk situs apa pun sudah kena enam ribu!β kata Mas Sukma suatu saat. Maklum mas, ini Wamena, maka nikmatilah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kami segera menuju Kampung Obiah, tempat acara purba bakar batu ini dilaksanakan.
Ternyata kami belum terlambat, penduduk lokal sedang bersiap. Seorang onduwafi (kepala suku) sedang berdiri di puncak menara kayu, mengintai kedatangan kami dari jauh. Saat dia melihat rombongan datang, maka ia segera berteriak-teriak, memanggil para lelaki yang sudah siap dengan panah dan tombak di tangan masing-masing. Mereka dengan sigap segera berbaris dan melontarkan bebunyian ritmis dari mulut. Menurut Bang Herman yang sudah sering menyaksikan acara bakar batu, itu merupakan tarian penyambutan.
Setelah selesai menari, dua lusin pria berkoteka dan bersenjata lengkap ini memandu kami memasuki kampung mereka. Secara umum penataan Kampung Obiah masih menggunakan bentuk arsitektural Suku Dani kuno; pilamo (honai lelaki) harus berseberangan langsung dengan pintu gerbang, sedangkan umma (honai perempuan) berjajar di samping kanan pilamo dengan dapur dan kandang babi yang ada di depannya.
Saat kami masuk, seluruh perempuan dan anak-anak sudah berdandan, melumuri tubuh mereka dengan lumpur. βIni yang warna putih berasal dari lumpur di gunung, kalau yang kuning kami bikin dari lumpur dari dasar sungai,β kata seorang wanita, menjelaskan kepada saya.
Para penduduk Kampung Obiah ini lalu menyanyikan lagu-lagu tradisional yang terdengar sangat masa lalu. Mengingatkan saya pada tayangan National Geographic Channel tentang suku-suku di Afrika. Mendengarnya membuat saya merinding, bagaimana bisa di abad Facebook praktik seperti ini masih awet dipakai. Bahkan zending Kristen yang sudah datang sejak abad lampau juga masih tidak bisa merubah budaya orang gunung Suku Dani ini.
Sang Oduwafi (kepala suku) akhirnya menyuruh dua orang pemuda untuk membawa seekor babi yang akan dikorbankan. Oh, itu ternyata seekor babi kecil, mungkin baru berumur enam bulan. Tubuhnya cukup bugar dan penuh daging yang bisa dijadikan penganan seluruh penduduk satu kampung kecil.
Dua orang pemuda kekar itu, tanpa menunggu persetujuan dari si babi mungil, langsung memegangi keempat kakinya. Menarik tubuh babi kecil membujur hingga terlihat sedikit ramping. Seorang pemanah tua dipanggil, tampaknya ia memang sudah sangat berpengalaman untuk urusan beginian. Tidak perlu lama bagi pemanah tua itu untuk menembakkan sebuah panah kayu menusuk jantung si babi kecil. Menembus sedalam beberapa centimeter, membuat lubang yang mengalirkan darah segar.
Suara nyanyian purba para penduduk masih saja riuh, bahkan semakin keras dan cepat. Sementara babi kecil terus me-nguik-nguik saat meregang ajal.
Sepasang pria dan wanita muncul, mereka berlari-lari di sekitar jasad babi, seperti upacara pelepasan roh yang musti dilakukan untuk babi yang dikorbankan.
Setelah lama tak bergerak dan sudah dipastikan benar-benar mati, jasad babi pun dimasukkan kedalam seonggok kayu bakar yang digunakan untuk memanaskan batu. Perlu waktu sekitar satu jam untuk membuat batu-batu ini menjadi sangat panas dan babi kecil tadi kehilangan seluruh bulu di permukaan kulitnya.
Penduduk desa pun segera bergotong-royong memindahkan batu-batu super panas tersebut ke dalam cekungan tanah yang sebelumnya sudah dilapisi dedaunan keladi. Sedangkan seorang pria sibuk mencacah tubuh babi menjadi bagian-bagian kecil dengan pisau tulang burung kasuari, sebuah senjata tradisional yang saat ini juga menjadi souvenir bagi para turis.
Saya mengira ini merupakan sistem hot plate purba, yaitu membiarkan babi dan hipere (ketela rambat) terpanggang diatas tumpukan batu panas. Sedangkan panas dari batu tidak cepat menguap karena ditahan oleh tumpukan daun segar dan rerumputan basah yang menutupi tungku tradisional ini.
Selama satu jam menunggu agar daging babi dan hipere matang, saya dan Mas Sukma sibuk memotret wajah dan kegiatan Suku Dani. Selama kami sopan, mereka siap dipotret dalam posisi apa saja tanpa meminta uang kamera. Kadang memang turis yang datang dirasa sangat mengekploitasi. Mereka, Suku Dani dengan pakaian tradisional, yang kurang berkenan biasanya segera meminta uang sogokan, semacam biaya yang harus kita keluarkan karena memotret orang-orang berkoteka ini.
Tak terasa babi dan hipere sudah matang, tumpukan dedaunan dan batu panas pun dilepas perlahan, memunculkan daging babi dan hipere yang menghitam matang. Suku Dani ini membagi dengan adil, bahkan anak-anak kecil ingusan pun dapat bagian. Sekerat daging ini mereka makan dengan kesusahan akibat gigi susu mereka yang belum tumbuh sempurna.
Sang kepala suku menyisakan sebuah paha bagian depan kepada saya dan Mas Sukma. Jujur saja, potongan daging babi yang menghitam dan dilapisi daun pisang ini tampak lezat dengan bau harum yang mencolok-colok hidung.
Tapi maaf nopase, kami tidak bisa makan hidangan istimewa ini.












































Komentar Terbanyak
Koster: Wisatawan Domestik ke Bali Turun gegara Penerbangan Sedikit
Awal Mula PB XIV Purbaya Gabung Ormas GRIB Jaya dan Jadi Pembina
Koster Akui Jumlah Wisatawan Domestik ke Bali Turun di Libur Nataru