Makna toleransi beragama bisa traveler temukan di Masjid Kotagede, Yogyakarta. Gapura masjid yang bercorak Hindu menjadi bukti adanya toleransi di sana.
Siang hari di bulan Ramadhan, suara riuh kesibukan pasar Kotagede terdengar jelas bercampur dengan bising kendaraan yang lalu-lalang di jalan Mondorakan, Banguntapan, Bantul, Yogyakarta.
Sementara asap knalpot melayang-layang di udara, melingkupi jalan sempit di depan pasar. Di antara toko-toko tua di jalan itu, sebuah gang yang bersahaja menjorok ke dalam sejauh puluhan meter.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di kiri kanannya berdiri rumah-rumah tradisional Jawa dengan daun jendela kayu yang dapat membuka lebar ke luar. Gang itu kemudian berujung pada gerbang layaknya pintu masuk sebuah pura.
Pagarnya pun terbuat dari batu bata merah dengan ornamen undakan di atasnya, khas bangunan peribadatan umat Hindu. Tapi begitu melewati gerbang tersebut, bukan pura yang kita temukan, melainkan sebuah masjid berukuran besar dengan halaman yang luas, dinaungi beberapa pohon beringin dan pohon sawo kecik yang rindang.
Suasana tenang dan sejuk langsung menyelimuti jamaah yang ingin melaksanakan sholat di sini. Nuansa tradisional Jawa terlihat kental pada bangunan masjid yang berbentuk joglo/limasan.
Serambi dan bagian dalam masjid ditopang oleh tiang-tiang besar berbahan kayu jati, begitu pula langit-langitnya yang digantungi beberapa chandelier bergaya klasik. Di bagian teras masjid terdapat sebuah bedug besar yang berusia ratusan tahun dan kentongan yang masih digunakan sebelum adzan sebagai penanda waktu sholat.
Selain itu, yang unik dari masjid ini, konon nira gula aren digunakan untuk merekatkan batu bata bangunan masjid, alih-alih memakai semen.
Menurut sejarahnya, Masjid Kotagede adalah masjid pertama yang ada di wilayah Yogyakarta. Masjid ini dibangun oleh Panembahan Senopati, pendiri sekaligus raja pertama Kerajaan Mataram Islam pada abad ke-16.
Saat itu kebanyakan masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya masih menganut kepercayaan animisme dinamisme ataupun agama Hindu. Namun ternyata, sekelompok umat Hindu bersedia ikut serta membantu proses pembangunan masjid Kotagede.
Maka sebagai ungkapan terimakasih dan sikap toleransi Panembahan Senopati terhadap umat Hindu tersebut, gapura masjid pun didesain menyerupai corak arsitektur bangunan klasik Hindu yang disebut Paduraksa.
Pengamalan sikap toleransi ini sesuai ajaran Sunan Kalijaga, bahwa penyebaran agama Islam hendaknya dilakukan dengan tetap menghormati budaya yang telah ada. Keberadaan Makam dan Sendang Seliran Di sebelah kiri halaman masjid, ada gerbang lagi yang menuju komplek makam keluarga kerajaan Mataram Islam, termasuk makam Panembahan Senopati sendiri.
Untuk berziarah ke makam tersebut ada beberapa syarat yang harus dilakukan oleh peziarah, di antaranya harus menggunakan pakaian khusus serta melepas alas kaki.
Kemudian di sisi selatan makam, terdapat gerbang lain yang akan membawa kita ke taman tempat pemandian keluarga kerajaan yang disebut Sendang Seliran.
Tempat pemandian ini terbagi menjadi dua kolam, yang satu adalah Sendang Seliran Kakung di bagian barat untuk laki-laki, dan satunya lagi Sendang Seliran Putri di sebelah selatan untuk perempuan.
Letaknya yang lebih rendah dari komplek makam dan masjid membuat kita harus menuruni belasan anak tangga untuk sampai ke sana.
Masjid legendaris Kotagede adalah tonggak sejarah dan situs penting warisan Kerajaan Mataram Islam. Ia seolah bersembunyi dari kesibukan dunia, di dalam gang pemukiman tradisional Jawa yang tenang.
Namun di tengah keheningannya, kita bisa menemukan kembali makna toleransi beragama, yang tidak hanya mementingkan hablumminallah, tetapi juga hablumminannas.
Komentar Terbanyak
Penumpang Hilang HP di Penerbangan Melbourne, Ini Hasil Investigasi Garuda
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol