Bagian mana yang paling kalian sukai ketika menjelajah Candi Borobudur? Jangan bilang, bagian sesi foto-foto dibalik stupa di tingkatan Arupadatu dengan latar belakang Bukit Menoreh yang berkabut.
Percayalah, setiap sudut Borobudur itu selalu terasa magis ketika diabadikan. Sesaat sebelum pegebluk merebak, kali kesekian saya menginjakkan kaki di pelataran mahakarya Kamulan Bhumi Sambhara itu.
Alasan kunjungannya satu yaitu mencari sebuah panel relief yang menggambarkan satu kendi, kamandalu. Katanya, kendi ini tertata di antara 2.672 total panel tiga dimensi candi tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Iya, seperti hendak bermain puzzle pada labirin pahatan bas kuno raksasa yang terukir di dinding bangunan yang luasnya kira-kira 14.000m2. Menyenangkan tapi juga tidak mudah! Ada apa dengan kendi kamandalu?
Bermula dari sebuah koleksi kendi langka di Marine Heritage Gallery, sebuah galeri di jantung kota Jakarta yang memamerkan koleksi tunggal ribuan artefak dari laut.
Kendi kuno dari tanah liat berumur ribuan tahun yang berbentuk unik, rumit tapi terlihat sangat presisi. Kendi kamandalu namanya. Dalam sejarah panjang kebhinnekaan kita, kendi tidaklah selesai hanya sekedar tempat air minum biasa.
Sebuah kendi akan mampu bercerita tentang hubungan sosial yang berlangsung dahulu dan kini, langgam budaya dan kepercayaan. Hubungan kita dengan Thailand ribuan tahun lalu salah satunya tergambar melalui wadah ini.
Dalam ekskalasi perdagangan kuno, kendi berevolusi menjadi penanda lokus produk Asia Tenggara yang lebih profan, meskipun awalnya diduga berasal dari India. Di Indonesia sendiri, kendi sebagai wadah air hampir ditemukan merata se-nusantara, menempati segala lini sosial, menghubungkan kasta, simbol berbagi dalam khasanah duniawi.
Konon dahulu kala di Jawa, kendi berisi air selalu ditempatkan di depan rumah, disediakan untuk musafir yang bisa saja kehausan dalam perjalanannya. Kini pun kendi masih menempati ruang sehari-hari kita meskipun dengan evolusi bentuk dan material yang signifikan.
Pada wilayah sakral, kendi yang berisi air suci adalah laksana bagi Brahma dan Syiwa, menyimbol kesucian, kehidupan dan keabadian. Ia juga dipercaya sebagai media suci pengusir roh jahat, yang haram untuk dilangkahi. Kembali ke kamandalu yang ada di Marine Heritage Gallery.
Kendi halus bercorot yang berbentuk globular itu ditemukan pada kedalaman 60 meter di dasar Laut Jawa, bersama tumpukan ratusan ribu keramik China dan botol kaca Persia dari abad ke 10 Masehi.
Selanjutnya, para pakar berdebat dari mana asal kendi
Kendi itu tidak dibuat di China ataupun di salah satu kerajaan di Timur Tengah. Pakar berdebat, ia mungkin dari Thailand Selatan. Tapi kalau dari klasifikasi kendi yang dibuat Gita Winata, kamandalu itu milik nusantara. Tapi bukanlah sesuatu yang mudah membuat karya seni tanah liat sedemikian apik seribu tahun lalu.
Saya meraba kaca vitrin dimana kendi tua tapi cantik itu dipajang. Milik siapa kamu? Dari bentuknya, bisa saja ia adalah milik Sang Brahmana di atas kapal atau bisa juga ia adalah titipan persembahan kepada seorang Syiwa di Mataram.
Yang pasti, benda itu tidak biasa dan yang tidak biasa mestinya istimewa. Sampai seorang pakar arkeologi menyebut bahwa kamandalu ada dalam rangkaian pahatan naratif Candi Borobudur.
Saya tentu saja terlewat dalam beberapa kunjungan ke mahakarya yang dibangun abad 8 - 9 Masehi itu. Tidak terpikir untuk melacak jejak apalagi bermain puzzle.
Kalau arsitek dan perupa Borobudur mentatahkan kendi dalam untaian cerita Sang Budha, artinya benda itu telah beredar di nusantara dua abad sebelum kapal yang mengangkut koleksi di Marine Heritage Gallery - salah satunya kamandalu - tenggelam di Laut Jawa Utara Cirebon.
Lantas kisah apa yang dilakonkan laksana dewa itu dalam panel relief kamulan suci. Dan seperti apa rasanya memegang sebuah pahatan tua yang berwujud namun berbeda usia?
Rasa penasaranlah yang mengundang saya kembali menjejak ke Candi Budha terbesar itu. Apakah kemudian pencarian saya berhasil dua tahun lalu, jawabannya, belum! Hujan deras dan petir menghentikannya kala itu.
Setelah pandemi ini berakhir, saya pasti akan kembali ke sana, mencari penghubung kisah dalam satu panel itu, menyusuri, seolah menghapus karma dalam pradaksina. Satu hal yang saya genggam, bahwa simbol air kehidupan itu bersemayam di kamadalu. Ada yang mau membantu mencari?
---
Artikel ini ditulis oleh pembaca detik Travel, Zainab Tahir. Traveler yang hobi berbagi cerita perjalanan, yuk kirim artikel, foto atau snapshot kepada detikTravel di d'Travelers. Link-nya di sini
Komentar Terbanyak
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol