Catatan Nostalgia: Oh Nasibmu Danau Maninjau

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Catatan Nostalgia: Oh Nasibmu Danau Maninjau

Dedy Rahmat Nurda - detikTravel
Jumat, 03 Mar 2023 14:45 WIB
loading...
Dedy Rahmat Nurda
Kemilau Maninjau diwaktu senja
Sebuah kapal bersandar ditepian danau
Sesudut maninjau yang asri
Mendung di tepian danau
Awan berombak di atas danau
Catatan Nostalgia: Oh Nasibmu Danau Maninjau
Catatan Nostalgia: Oh Nasibmu Danau Maninjau
Catatan Nostalgia: Oh Nasibmu Danau Maninjau
Catatan Nostalgia: Oh Nasibmu Danau Maninjau
Catatan Nostalgia: Oh Nasibmu Danau Maninjau
Jakarta -

Pengalaman masa kecil sekitar tiga dekade yang lalu di tahun 90-an, masih terus membekas dalam ingatan. Setiap kali dalam perjalanan pulang kampung ke rumah nenek, selalu menyusuri tepian danau ini.

Sepasang mata dari seorang bocah kecil nyaris tak berkedip saat menatap ke arah danau yang membiru di belakang hamparan sawah, dengan kening yang ditempelkan rapat-rapat pada kaca jendela mikrobus AKDP yang berjalan perlahan menyusuri jalanan yang tidak terlalu mulus. Sesekali bus mengerem mendadak kemudian meliuk bermanuver menghindari lubang-lubang yang bertebaran disepanjang jalan, membuat tubuh kecil si bocah terhuyung-huyung ke kiri dan kanan, bahkan terkadang keningnya pun terantuk pada jendela kaca yang ditempel rapatnya, namun ia tak peduli.

Bocah kecil itu juga tak peduli dengan penumpang lain di sekelilingnya yang sudah sejak tadi tertidur pulas di sepanjang perjalanan. Adapun beberapa penumpang lain yang masih terjaga, biasanya karena sedang berjuang menahan mabuk darat akibat dari perutnya yang diaduk-aduk oleh jalanan menurun berkelok-kelok dengan empat puluh empat belokan patah dan tajam, sesuai dengan namanya kelok 44 yang termasyhur.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Si bocah begitu terpesona dengan sorot cahaya keemasan matahari di senja hari itu memantul di permukaan danau yang beriak-riak kecil, menghasilkan kerlip-kerlip berwarna emas keperakan. Kilauan cahaya yang tercipta itu, dalam khayalan imajinasi kecilnya terlihat seolah kilatan ribuan lampu blitz kamera yang sedang bersuka cita menyambut kedatangannya.

Sebuah kapal bersandar ditepian danauSebuah kapal bersandar di tepi danau Foto: detik

Ia juga sangat girang tatkala melihat di pinggiran jalan, kendaraan yang ditumpanginya berpas-pasan dengan serombongan orang-orang bule berkulit putih kemerahan, berambut pirang dengan tinggi yang jangkung menjulang berjalan beriringan di tepi jalan dengan ransel-ransel besar dipundak mereka. Sebagian lagi dari mereka, tampak terlihat lalu lalang di jalanan dengan sepeda sewaan.

ADVERTISEMENT

Di tepi-tepi jalan terlihat berbagai merk hotel, homestay dan penginapan dengan berbagai kelas yang dapat disesuaikan dengan budjet. Di sanalah bule-bule dan juga pelancong domestik biasanya menginap menghabiskan beberapa hari di tepian danau, berbaur dengan warga lokal. Itulah suasana di seputaran Danau Maninjau pada masa itu.

Danau yang terletak di Kecamatan Tanjung Raya Kabupaten Agam, sekitar 40 km sebelah barat Kota Bukittinggi. Keindahan dan kemegahannya tak terbantahkan. Perpaduan antara alam perbukitan, areal persawahan luas, dan tentu saja danau yang besar dan megah, yang airnya beriak namun jernih bekerlap-kerlip tertimpa sinar matahari yang memantul ke permukaannya.

Kini, 30 tahun kemudian, si bocah kecil tak lagi mengintip dari balik jendela kaca bus AKDP. Ia sekarang duduk dibelakang kemudi mobil mungil yang penuh sesak memuat keluarga kecilnya yang berhimpitan dengan barang bawaan yang mereka bawa, merangkak pelan menyusuri jalanan tepian danau yang sama.

Namun kini suasana diseputaran danau tak lagi terasa sama, terasa semakin sepi. Tak ada lagi kegairahan lalu lalang wisatawan yang datang dari negeri-negeri yang jauh untuk menikmati keindahan danau Maninjau. Industri perhotelan dan restoran seperti pun jadi lesu seperti kurang darah. Deretan homestay dan penginapan murah meriah yang dulu sempat menjamur kini mati suri.

Pengembangan objek wisata pun tak pernah beranjak maju seperti jalan di tempat, tiga dekade berlalu tanpa ada perkembangan yang berarti. Nyaris tak ada yang baru, hanya ada beberapa spot lokasi untuk wisata yang tersedia, diantaranya hanya kawasan taman usang PLTA Muko-muko dan yang cukup baru Linggai Park, namun sekali lagi belum maksimal penataan dan pengelolaannya.

Belum lagi soal keasrian dan keindahan kawasan danau yang malah terasa bergerak mundur ke belakang. Adanya ribuan petak tambak jala apung yang oleh masyarakat setempat disebut dengan 'karamba' nyaris memenuhi sepertiga radius danau. Sepanjang mata memandang, keindahan danau yang dahulu bersih dan asri, kini nyaris tertutupi oleh deretan tambak yang berbaris berkeliling disepanjang tepian danau.

Meski secara hitungan ekonomi jangka pendek, kehadiran tambak-tambak karamba memang mampu menunjang pendapatan masyarakat setempat. Namun secara jangka panjang, keberlangsungan ekosistem alamiah dan kelestarian danau dalam keadaan sudah sangat terancam.

Sudah berulang kali terjadi setiap tahunnya, kematian ribuan ton ikan tambak yang diakibatkan oleh keracunan gas belerang maupun keracunan gas amoniak hasil dari residu sisa-sisa makanan yang mengendap ke dasar danau. Jika hal ini terjadi, maka jadilah kawasan danau itu akan menyebarkan bau busuk anyir menyengat akibat ratusan ribu ikan mati yang mengambang di permukaan danau.

Hal ini berulang dan terus berulang terjadi, meski berulang kali pula himbauan untuk mengurangi jumlah tambak apung didengungkan oleh pemerintah setempat. Maka tak heran kini jika 'sekeping surga di atas dunia' ini pun sejak lama mulai ditinggalkan dan terlupakan. Sudah lama tak terlihat lalu lalang pengunjung yang datang.

Jika pun ada, hanya sekedar singgah numpang lewat sejenak, tanpa berniat untuk tinggal lebih lama ditepiannya. Lebih banyak lagi yang hanya cukup sekedar memandangi Maninjau dari kejauhan dari ketinggian Puncak Lawang, tanpa berniat untuk turun ke dasar lembah untuk menyentuh langsung airnya yang dingin.

Jalanan kecil berliku serta berlubang yang sejak dahulu selalu menghantui pelintasnya sejak dari meninggalkan pinggiran kota Bukittinggi hingga kelok 44 yang menyurutkan nyali memudarkan semangat pengunjungnya, merupakan masalah yang terlihat seolah awet dari tahun-ke tahun tanpa ada solusi perbaikan yang berarti. Akankan Danau Maninjau si 'permata yang terlupa' ini akan terus dibiarkan dalam tidur panjangnya dan lantas mati perlahan? Si bocah kecil yang kini mulai menua terus berfikir dan berharap, meski ia sendiri pun tak yakin pada siapa harapan itu akan ditompangkannya.

Hide Ads