Kamis, 02 Juni 2022 menjadi momentum mantap bagi saya untuk menyempatkan diri berkunjung ke Jakarta.
Adapun maksud kedatangan saya dari Yogya menuju ibu kota bukanlah karena keinginan untuk liburan atau mungkin sebab aktivitas-aktivitas padat lainnya.
Sangat sederhana, saya hanya ingin mengunjungi makam salah satu pahlawan nasional kita yang tak lain adalah Buya Mohammad Natsir.
TPU (Tempat Pemakaman Umum) Karet Bivak menjadi tempat peristirahat terakhir sang ulama. Negarawan itu mangkat pada tanggal 06 Februari 1993 atau sekitar 29 tahun silam.
Tertulis pada batu nisannya "Aba H. M. Natsir Dt. Sinaro Panjang", yang menegaskan gelar adatnya sebagai putra kebanggaan Minangkabau.
Lingkungan makam Buya Natsir masih terawat dengan baik, ditambah dengan sejuknya hembusan angin pagi dan keasrian area pemakaman membuat saya tidak sadar kalau tempat ini masih berada di tengah kota.
Bahkan sejauh mata memandang dapat terlihat gedung-gedung yang menjulang, terlebih BNI Tower tatkala itu. Sekalipun begitu, saya tetap fokus pada aktivitas menziarahi mantan Perdana Menteri Republik Indonesia tersebut.
Saya duduk di sisi makam, mentadaburi keteladanan yang telah beliau curahkan semasa hidupnya untuk kemaslahatan agama dan bangsa Indonesia.
Tanah air tercinta ini menjadi saksi atas perjuangan Buya Natsir dalam memajukan pendidikan bangsa, menjadi uswatun hasanah dalam mengintegrasikan NKRI lewat mosi integralnya, dan tentu sebagai figur yang senantiasa santun lagi bersahaja.
Dalam kenangan, ia tidak haus akan 'harta' maupun 'jabatan' karena setiap tugas ia dedikasikan dengan ikhlas. Jejak pengorbanan dan perjuangan dari Buya Natsir inilah yang dapat dijadikan pembelajaran bagi generasi masa kini di tengah masifnya era globalisasi untuk bersinergi memajukan agama, bangsa, dan negara dengan ikhlas tanpa pamrih.
Dengan begitu kita dapat sama-sama mengokohkan NKRI secara ikhlas dari kesadaran kolektif, agar bangsa ini dapat terhindar dari perpecahan dan pelbagai bentuk disintegrasi.
(wsw/wsw)