Luang Prabang adalah salah satu kota di negara Laos, tepatnya di jantung wilayah pegunungan. Jika ke sana baiknya digabung dengan rute ke negara lain.
Hingga saat ini belum ada direct flight Jakarta-Laos, baik ke ibu kota nya Vientiane maupun ke Luang Prabang. Jadi untuk bisa menghemat biaya transport, kalian bisa menggabungkan rute seperti yang saya lakukan.
Awalnya saya terbang ke Kuala Lumpur (KL) karena ada tiket terjangkau seharga Rp 500 ribuan saja. Dari KL saya terbang ke Bangkok, dengan tiket seharga Rp 800 ribuan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kalau di Bangkok mau transit saja lalu terbang lagi ke Luang Prabang, kalian bisa memilih jam penerbangan terpagi dari KL sekitar jam 07.00. Karena pesawat ke Luang Prabang yang paling ekonomis dengan AirAsia yang hanya 1x terbang dengan jadwal jam 13.15.
Tiket Bangkok-Luang Prabang yang terhemat rute dari Bandara Dong Muaeng berkisar Rp 900 ribuan saat weekday, hingga Rp 1,2 jutaan saat weekend. Mendarat di Luang Prabang International Airport pukul 14.40 waktu setempat di mana tidak ada perbedaan waktu.
Perjalanan dari Bangkok ke Luang Prabang ditempuh dalam waktu 1 jam 25 menit. Untuk memudahkan komunikasi dan lain-lain, saya langsung membeli SIM card dengan harga 50 Kip atau sekitar Rp 40 ribu dengan kuota 8 GB untuk masa aktif 7 hari.
Sebenarnya saya sudah membeli paket kuota dengan eSIM di JavaMifi, tetapi sayangnya untuk negara LAOS belum tercover eSIM. Selesai itu, saya langsung menuju ke TukTuk yang sudah saya sewa melalui aplikasi Klook (cara teraman untuk datang ke negara yang belum memiliki transportasi umum terintegrasi).
Kalian bisa memilih menu airport transfer lalu masukkan alamat pick-up dan drop-off, maka tarif akan terkalkulasi sesuai dengan zona dan jarak. Saya memilih langsung di antar ke hotel yang jaraknya sekitar 6 km dari bandara.
Sunrise Garden Hotel menjadi pilihanku karena berada di pusat kota, harganya pun sangat ramah di kantong (mulai dari Rp 400 ribuan) tergantung tipe kamar yang dipilih.
Sekitar 15 menit perjalanan dari bandara ke hotel, jalanan cukup lancar, tidak banyak mobil berlalu lalang di kota ini. TukTuk di sini lebih mirip dengan bemo di Jakarta pada zaman dahulu atau sodako di Kota Medan.
Masih terasa lekat suasana tradisional di kota ini, hampir mirip dengan daerah kota kecil di Indonesia, seperti di daerah Kalimantan. Tak terlihat adanya gedung tinggi, rata-rata gedung di sini hanya 3-4 lantai saja.
Tapi mungkin karena sebelumnya saya sudah mampir beberapa hari di KL dan Bangkok, suasana yg tenang di sini memberiku rasa damai. Saya nggak harus macet-macetan di perjalanan, apalagi tempat tinggal asliku di Jakarta sehingga sudah lelah menghadapi kemacetan setiap hari.
Pukul 15.38 saya tiba di hotel dan benar seperti yang ada di foto aplikasi, suasana hotel terasa nyaman sangat hijau. Kamarku tepat di depan garden, lengkap dengan balkon yang tentunya bikin betah untuk nongkrong sore sambil baca buku atau sekedar bersantai mendengarkan musik.
Tapi setelah bersantai sebentar dan mandi sore, saya mulai terusik pergi ke beberapa objek yang masuk dalam jadwal. Jarak dari hotel ke objek utama hanya 1,8 km (sangat mungkin untuk ditempuh dengan jalan kaki santai).
Setelah berjalan sekitar 20 menit, saya menemukan Wat Xieng Thong atau yang dikenal dengan nama lain Temple of the Golden City yaitu kuil Buddha yang dibangun sekitar tahun 1559 dan menjadi salah satu monumen penting di kota ini.
Masih satu area dengan kuil ini terdapat objek kedua yaitu Royal Palace. Istana kerajaan yang dibangun 1904 selama era kolonial Prancis saat ini telah diubah menjadi museum nasional.
Sayangnya sore itu saya tidak bisa masuk ke dalam museum ini karena sudah hampir pukul 17.00 dan sudah ditutup untuk pengunjung masuk ke dalam bangunan. Saya pun hanya menjelajahi dari sisi luar.
Luang Prabang menerima Bath dan Kip
Sekitar 30 meter dari sini terdapat bangunan untuk acara teater. Di depan gerbang terpampang pukul 19.00 ada jadwal pertunjukan balet dengan harga tiket 100 ribu Kip. Di kota ini ada 2 mata uang yang berlaku untuk transaksi yaitu mata uang negara ini (Kip) atau Thailand (Bath).
90% transaksi di kota ini harus menggunakan cash, maka kalian bisa menukarkan mata uang dengan Kip di money changer kota ini (pilihlah Union) yang memiliki harga tukar cukup baik.
Jangan tukar uang berlebihan karena sulit ditukar kembali jika sudah meninggalkan Laos. Saya penasaran ingin melihat pertunjukan balet Laos, tiketpun saya beli dengan memilih tempat duduk di tengah.
Sambil menunggu jam 7 malam, saya berjalan menuju ke destinasi selanjutnya Phousi Hill yaitu bukit setinggi 100 meter di tengah Kota Luang Prabang yang dibatasi oleh Sungai Mekong dan Nam Khan.
Gerbang menuju ke sana hanya 200 meter dari Wat Xieng Thong. Di tengah bukit terdapat pedesaan dan Wat Chom Si.
Untuk naik ke bukit ini dikenakan tarif 50 ribu Kip. Di lembah bukit ini terdapat taman yang dapat digunakan sebagai spot menikmati sunset dan jika sore jalanan ditutupi pedagang (seperti suasana CFD di indonesia).
Cukup banyak kafe juga di sekitar area ini, tak jauh dari sini ada night market (pusat kuliner). Turun dari Phousi Hill saya langsung menuju teater untuk menyaksikan balet yang ternyata berbeda jauh dengan balet di Rusia.
Saya melanjutkan kuliner di pasar malam hingga hampir pukul 22.00 dan tempat ini 90% dipenuhi turis asing (western). Memang wisatawan di Luang Prabang didominasi turis dari Eropa dan US.
Komentar Terbanyak
Penumpang Hilang HP di Penerbangan Melbourne, Ini Hasil Investigasi Garuda
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol