Aroma asap dupa yang melekati ranselku terasa menyengat. Debu sisa perjalanan yang masih tersisa di sana menguarkan aroma yang sama.
Jalan panjang penuh guncangan dari Pokhara ke Kathmandu masih terbayang. Dalam kenangan, rasa kehilangan itu terus menindih dada dengan berat setara ratusan kilo es batu, terasa dingin dan mengganggu.
Selimut yak, baju etnik dan buku-buku langka, bukan milikku namun memenuhi setengah koperku, seakan mengingatkan bahwa hidup ini hanya titipan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Barang-barang itu milik teman seperjalananku di Nepal. Aku mengikuti travel writing di Nepal bersama Agustinus Wibowo, penulis buku perjalanan legendaris itu.
Titik Nol, bukunya yang bersetting lokasi di Nepal itu sedang dalam proses produksi versi visualnya.
Aku menjejakkan langkah bersamanya menyusuri Pokhara yang berselimut debu dan Kathmandu yang beraroma dupa, menuju Pasupatinath, tempat semua orang yang datang ke sana akan mengingat keberadaannya di dunia.
Agustinus Wibowo mengingatkanku bahwa semua yang ada akan berlalu juga bila waktunya tiba. Perjalanan memang bukan tentang tujuan, melainkan tentang mengosongkan diri, untuk kemudian menyerap berbagai pengalaman yang dijumpai.
Pasupatinath yang kami kunjungi hari itu adalah lokasi kremasi yang terbuka untuk umum. Dengan membayar tiket masuk, siapapun bisa melihat proses menuju titik nol itu.
Sebelum dikremasi, ada prosesi pemandian jenazah di sungai suci Bagmati. Sungai yang telah cemar, namun tetap dihormati.
Mengunjungi Pasipatinath membuat kegelisahan menyelinap, memupus harapan hingga ke titik nadir, memaksa siapapun berhadapan langsung dengan kenyataan menyakitkan.
Bahwa semuanya akan selesai, menuju titik penghabisan yang hanya akan menyisakan kekosongan. Kosong yang damai. Kosong yang selesai. Dari titik nol ke titik nol.
Komentar Terbanyak
Bangunan yang Dirusak Massa di Sukabumi Itu Villa, Bukan Gereja
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Viral Keluhan Traveler soal Parkir Jakarta Fair 2025: Chaos!