Menyusuri jalan, gang, lorong, perkampungan dan perkotaan dengan sepeda adalah sensasi tersendiri. Jika bosan di dalam kota, bersepeda keluar kota juga pilihan menarik yang susah untuk ditolak.
Begitu pula ketika saya banyak berkesempatan ke Malang, kota sejuk di Jawa Timur. Di dalam kota beberapa spot dan jalur sepeda saya susuri. Jalan Besar Ijen, alun-alun, Kajoe Tangan, pasar Klojen adalah beberapa diantaranya.
Masing-masing spot menyimpan cerita dan keunikan tersendiri. Saya juga menjajal gowes ke masjid Tiban, Batu dan Bedengan. Berikut kisahnya:
Masjid Tiban
Masjid Tiban berada di desa Sananrejo, Turen, Kabupaten Malang. Jarak sekitar 27 km atau pulang pergi 54 km dari kota Malang. Tiban adalah istilah Jawa, artinya jatuh. Istilah masjid tiban ini hanya sebutan orang.
Ini adalah pondok pesantren Salafiyah, Bihaaru Bahri 'Asali Fadlaailir Rahmah. Demikian yang dipampang di baliho besar dekat gerbang masuk pondok. Masjidnya berada di dalam pondok. Perihal kenapa dijuluki masjid tiban sudah banyak diulas dan dengan mudah bisa dibrowsing di internet.
Saya berangkat dari Jalan Prigen, Lowokwaru, Malang jam 09.30. Waktu itu hari Jum'at dan niatnya memang ingin solat Jum'at di masjid yang viral tersebut. Sepanjang jalan dilalui banyak terlihat kubah masjid di depan.
Hampir setiap jarak 300 - 500 meter terlihat kubah besar, sedang dan kecil di pinggir jalan. Selain masjid juga banyak terlihat pondok-pondok berafiliasi Nahdlatul Ulama (NU). Daerah pinggiran tapal kuda ini memang sangat kental dengan nuansa Islami.
Jam 11.00 saya sampai di lokasi. Pondok berada di tengah pemukiman warga. Melalui gang kecil sepanjang sekitar 250 meter. Di kiri kanan jalan penuh berjejer kios pedagang yang menjual aneka souvenir, t-shirt, baju, kue, buah. Yang paling banyak dijual adalah buah apel Malang dan tape singkong.
Hampir setiap kios menjual apel dan tape ini. Setelah mengunci sepeda saya mencari sarung. Sengaja tidak membawa sarung untuk mengurangi beban bawaan sepeda, karena berasumsi di masjid pasti disediakan sarung untuk jamaah. Ternyata di etalase masjid hanya tersedia mukena.
Untung petugas masjid baik hati mencarikan pinjaman sarung. Melalui ibu kantin yang lokasinya dekat masjid disiapkan dua buah sarung di etalase masjid. Terlihat banyak pengunjung datang berombongan.
Sebagian besar ibu-ibu jamaah yang sedang melakukan wisata rohani yang saat ini sedang ngetrend. Yang menarik dari pondok ini adalah arsitektur bangunan dan lanskap pondok yang unik.
Bangunan didominasi warna biru dan putih yang memadukan ornamen khas Turki, Timur Tengah, India dan Tionghoa. Tak kalah menarik pula kisah di balik nama masjid tiban. Seorang warga sekitar mengatakan akses jalan ke dalam lingkungan masjid relatif kecil dan tidak cukup dilalui mobil truk pengangkut material bahan bangunan.
"Lewat mana mobilnya untuk sampai ke Lokasi masjid?" katanya. Namun demikian ada warga lain yang tidak merasakan keanehan tersebut.
"Masjid ini dibangun bertahap dan cukup lama" katanya.
Wallahualam.
Kota Batu
Kota Batu berjarak sekitar 17 km dari Malang. Udaranya sejuk. Ketinggian rata-rata 1000 meter di atas permukaan laut itu suhu udara rata-rata antara 11 - 18 derajat celcius.
Saya nggowes melalui jalan Soekarno-Hatta, belok kanan di pertigaan kampus Universitas Brawijaya (UB) dan lurus ke Batu. Jalan menanjak meski tidak terlalu ekstrim. Di beberapa tanjakan saya tuntun sepeda dan jalan kaki. Sampai Batu menjelang lohor. Langsung ke masjid Agung An Nur di alun-alun kota Batu.
Setelah solat lohor berjamaah dan selonjoran sejenak saya menuju Pos Ketan Legenda 1967 yang di jalan Kartini. Jaraknya hanya 100 meter dari masjid Agung An Nur. Ketan dengan aneka topping tersedia di sini. Ada ketan bubuk kelapa, ketan kelapa gula merah, ketan susu keju, ketan tape, ketan nangka, ketan pisang keju, sampai ketan durian.
Saya lihat di menu ada 28 varian ketan. Harga sesuai varian, dan yang jelas ramah di kantong. Yang tertinggi adalah ketan durian keju misis plus susu dan vanila Rp 17 ribu.
Pos Ketan Legenda 1967 adalah kuliner ikonik kota Batu. Menurut sejarah, kedai yang buka sejak 1967 ini dirintis oleh nenek Siami di depan kantor pos. Karena itu namanya Pos Ketan. Karena kemudian melengenda jadilah Pos Ketan Legenda 1967 (PKL 1967). Jam buka layanan dari jam 10.00 - 02.00 dini hari.
Setelah menikmati seporsi ketan dan jeruk panas, saya gowes keliling alun-alun sebentar kemudian turun kembali ke kota Malang. Sepanjang perjalanan pulang kaki hampir tidak sempat menggowes pedal karena jalanan turun terus sampai depan kampus UB. Tidak lupa mampir membeli apel Batu.
Bumi Perkemahan Bedengan
Bumi perkemabahn Bedengan, yang terletak di tengah hutan pinus ini lokasinya tidak terlalu jauh dari kota Malang. Hanya berjarak 14 km. Persisnya di desa Selorejo, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang.
Namun tanjakannya ternyata lebih ekstrim dibanding ke kota Batu. Dengan tanjakan seperti ini, terpaksa nggowes pakai sistem hybrid. Setengah nggowes dan setengah lagi campur jalan. Hitung-hitung hiking, sambil menuntut sepeda.
Melewati kampus UB, kemudian lewat jalan Tlogomas kemudian lurus ke arah Bedengan. Sepanjang jalan banyak dijumpai kios-kios pedagang jeruk.
Pegel kaki nggowes nanjak pagi itu terbayar dengan indahnya pemandangan hutan pinus dan kebun jeruk yang membentang di Bedengan. Inilah kebun jeruk yang sesungguhnya.
Selain camping ground di sini juga ada wisata petik jeruk. Jeruk produksi Bedengan berjenis baby java atau jeruk pacitan, jeruk keprok dan jeruk siam Setelah sejenak menikmati suasana saya turun karena mengejar waktu solat Jum'at. Perjalanan kembali dari Bedengan ditempuh dengan hampir tanpa menguyuh pedal gas.
Salam satu aspal.
Komentar Terbanyak
Bandung Juara Kota Macet di Indonesia, MTI: Angkot Buruk, Perumahan Amburadul
Bandara Kertajati Siap Jadi Aerospace Park, Ekosistem Industri Penerbangan
Foto: Aksi Wulan Guritno Main Jetski di Danau Toba