Setiap kali traveling ke daerah, pasti kita akan bertemu dengan sambal yang khas. Bisa dibilang, setiap daerah punya sambalnya masing-masing.
Seperti contohnya Bali. Sudah menjadi pengetahuan umum jika Bali terkenal dengan sambal matah-nya yang khas. Bawang-bawang diiris, ditambah dengan irisan cabai rawit, dipadukan dengan irisan batang serai dan daun jeruk.
Semuanya dicampur dengan minyak kelapa dan air perasan jeruk limau. Duh, rasanya begitu pedas dan segar. Jenis sambal ini sangat cocok dimakan dengan nasi campur aneka lauk khas dari Bali.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setiap berangkat dinas ke Bali, saya selalu mencari sambal matah ini. Saya lebih suka mampir ke warung-warung biasa yang tidak ramai turis. Justru di tempat-tempat seperti itu rasa sambal matahnya lebih mantap.
Melangkah ke Tanah Sunda, setiap makanan wajib hukumnya disertai dengan sambal dan lalapan. Suguhan makan, walaupun cuma dengan nasi dan ikan asin, kalau ada sambal, terutama 'sambal dadak' yang dibikin serba dadakan, beuh.... rasanya jadi istimewa. Apalagi makannya di saung dan diiringi oleh seruling sunda. Duh! Jadi ngiler.
Bagi sebagian besar orang Indonesia, sambal memang bukan sekadar pelengkap makanan. Sambal adalah rasa yang membangkitkan emosi, kadang nostalgia, kadang tantangan, kadang juga ajang gaya hidup.
Menurut riset terbaru dari International Flavors and Fragrances, sambal memiliki dua sisi yang berbeda di mata generasi Milenial dan Gen Z.
Bagi generasi Milenial, sambal dipandang sebagai suatu rasa yang akrab dan menenangkan, serta mengingatkan akan rumah dan masakan keluarga.
Sedangkan bagi Gen Z, sambal adalah sarana bagi mereka untuk mengekspresikan diri di dunia digital. Mereka tidak canggung untuk memamerkan diri telah berhasil menaklukkan sambal sebagai sebuah tantangan.
Lihat saja di TikTok atau Instagram, banyak Gen Z yang mengunggah video 'Mukbang' makanan dengan level pedas tertinggi atau video 'Samyang Challenge'. Bagi mereka, rasa pedas sambal bukan lagi sekadar sensasi di lidah, tapi juga bentuk tantangan dan kebersamaan sosial.
Melalui riset Panoptic Trend Foresight, mereka berhasil memetakan lapisan emosional yang terkandung dalam rasa pedas khas Indonesia. Hasilnya, sambal mampu memicu beragam perasaan, dari kebanggaan terhadap warisan kuliner lokal hingga kegembiraan dan rasa nyaman.
Tak heran, dalam dua tahun terakhir, tercatat lebih dari 14,9 juta percakapan online terkait sambal, sebuah angka yang menggambarkan betapa dalamnya keterikatan masyarakat Indonesia terhadap kuliner pedas ini.
Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia bahkan menjadi pusat inspirasi untuk tren pedas modern. Jika Thailand dikenal dengan bird's eye chili, maka Indonesia punya sambal yang menggabungkan warisan kuliner dan inovasi modern. Sambal bukan sekadar bumbu, tapi simbol kebersamaan dan juga ekspresi budaya.












































Komentar Terbanyak
IKN Disorot Media Asing, Disebut Berpotensi Jadi Kota Hantu
Thailand Minta Turis Israel Lebih Sopan dan Hormat
Wisatawan di IKN: Bersih dan Modern Seperti Singapura, tetapi Aneh dan Sepi