Potensi alam menentukan kekayaan kuliner setempat. Setidaknya itulah kesimpulan saya setelah berkunjung ke Pulau Lembata, Januari 2013 lalu. Pulau seluas 1,2 juta km2 ini bak perawan, masih belum banyak dijamah wisatawan. Tak heran pantai-pantai pun masih alami, hutan belantara masih rapat, kekayaan alam dan budaya tersimpan erat.
Namun setidaknya ada 1 hal di Pulau Lembata yang patut diacungi jempol: kekayaan kuliner. Bicara soal kuliner Nusa Tenggara, selama ini yang terbesit dalam pikiran saya tak jauh dari nikmatnya Ayam Taliwang atau pedasnya Plecing Kangkung. Tapi di Lembata, saya mencicipi kuliner yang sama sekali lain dari itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tiap desa yang saya sambangi punya kuliner khas masing-masing. Di Lewoleba, ibukota Pulau Lembata, ada pasar rakyat yang menjual seafood segar. Ikan kerapu, tuna, cumi berukuran besar, sampai lobster dijual dengan harga terjangkau. 3 Ekor cumi ukuran besar hanya dibanderol Rp 15.000. Semuanya segar, baru diangkat dari lautan.
Warga Desa Lewolein menyuguhkan ketupat kecil-kecil berisi beras ketan. Rasanya sangat nikmat, mirip nasi uduk karena dikukus menggunakan santan. Lebih nikmat lagi saat dinikmati bersama ikan bakar.
Bupati Lembata, Eliazer Yentji Sunur sangat antusias saat memperkenalkan Kopi Boto. Ini adalah kopi khas Desa Boto, biasa dilintasi wisatawan saat menuju Desa Lamalera yang tersohor dengan tradisi berburu pausnya. Desa Boto punya beberapa warung dengan harga kopi Rp 3.000 untuk satu cangkir.
Diminum begitu saja? Tentu tidak. Teman minum kopi kali ini adalah kue kacang khas lokal, bercita rasa gurih-manis dan bertekstur renyah. Selain itu ada pula singkong kukus yang diparut, kemudian diuleni dengan adonan kelapa. Yang tak kalah nikmat adalah kerupuk dari air perasan singkong. Dijamin nagih!
Desa 'paus' Lamalera punya suguhan yang agak tak lazim. Daging anjing sudah biasa dikonsumsi di sini, selain juga daging ikan paus dan daging Orca (paus pembunuh). Karbohidrat yang dimakan bukan nasi, melainkan jagung dan umbi-umbian.
Di Desa Beang yang terletak di pesisir laut, saya disuguhi makanan yang lain lagi. Warga lokal punya 'beso', bubur jagung yang dicampur santan dan kacang hijau. Jagung di Pulau Lembata berbeda varietas dengan jagung lainnya, berbiji putih dan besar-besar.
Selain 'beso', sumber karbohidrat lainnya adalah singkong rebus dan nasi yang dicampur singkong dan parutan kelapa. Di desa ini dan Lewolein yang saya kunjungi sebelumnya, menu ayam dimasak dengan cara serupa. Dipotong kecil-kecil, dikukus, kemudian diberi parutan kelapa yang sudah dicampur jeruk nipis.
Di Desa Jontona, saya disuguhi makanan yang paling nikmat sepanjang perjalanan di Pulau Lembata. Ketupat kecil-kecil berisi nasi ketan gurih berubah bentuk jadi lontong. Lebih besar, lebih nikmat! Apalagi dimakan dengan ikan kerapu bakar, dicocol sambal kecombrang.
Sumber kenikmatan dari segala kenikmatan kuliner Pulau Lembata adalah: kuah ikan bumbu kuning yang bercitarasa sedikit asam. Di Desa Jontona, saya sampai tambah 2 kali saking enaknya!
Walaupun punya beragam kuliner, satu jenis panganan yang tak boleh terlewat adalah jagung titi. Ini serupa keripik, dibuat dari jagung lokal yang dipipihkan. Bentuknya seperti emping, namun lebih kecil. Jagung titi dimakan bersama hidangan utama, atau jadi camilan minum kopi seperti di Desa Boto.
Saat berkunjung ke Pulau Lembata, cobalah cicipi makanan khas lokal. Masyarakat setempat yang sangat ramah itu biasa menyuguhkan masakan rumah bagi wisatawan yang bertandang ke desa mereka.
(sst/sst)
Komentar Terbanyak
Banjir Bali, 1.000 Hektar Lahan Pertanian per Tahun Hilang Jadi Vila
10 Negara Menolak Palestina Merdeka di Sidang PBB, Ada Tetangga Indonesia
Belum Dibayar, Warga Sekitar Sirkuit Mandalika Demo-Tagih ke ITDC