Sumpah Pemuda pada tahun 1928 akhirnya menyepakati tiga hal yang salah satunya adalah menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia. Mungkin agak mengherankan saat itu lantaran negara Indonesia saja belum terbentuk. Disepakatilah menggunakan bahasa melayu, tetapi berbeda aksen dengan Malaysia dan Singapura.
Rupanya bahasa yang kita gunakan sehari-hari saat ini berasal dari sebuah pulau kecil di antara pulau-pulau Kepulauan Riau. Tak ada salahnya kita menyempatkan diri berwisata kultural ke pulau yang terletak sekitar 2 kilometer dari Tanjung Pinang, Pulau Bintan, Kepulauan Riau tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebuah dermaga panjang meyambut rapi dengan keharuman aroma otak-otak sotong yang dibakar. Simpulan senyum penduduk lokal seakan mengajak pengunjung untuk berkeliling sekaligus berziarah ke makam Raja Ali Haji, sang penulis kitab Pedoman Bahasa Melayu, yang pada akhirnya dijadikan landasan menetapkan Bahasa Indonesia pada Kongres Pemuda 1928.
Ada kesan damai saat berwisata spiritual ke makam Raja Ali Haji yang letaknya tak jauh dari dermaga. Becak motor dengan desain khas melayu siap mengantar pengunjung untuk berkeliling dan cukup dengan Rp 35.000 saja.
Tata kota yang tampak di pulau itu masih sarat akan budaya melayu dengan banyak akses warna kuning. Udara yang masih asri dan tak tampak sampah berserakan membuat siapa saja yang datang merasa tentram dan nyaman. Hilir mudik santri-santri yang menggendong kitab suci menegur ramah siapa pun yang berpapasan.
Kumandang adzan ashar pun mengemuka ke langit pulau itu jelang sore hari. Sebuah masjid dekat dermaga berdiri kokoh sejak ratusan tahun silam.
Masjid Raya Sultan Riau atau dikenal pula dengan sebutan Masjid Putih Telur dibangun oleh Sultan Mahmud pada tahun 1803. Pembangunan masjid dilakukan secara gotong-royong dari peletakan batu pertama hingga penyediaan konsumsi bagi masyarakat yang membangunnya. Datanglah bertongkang-tongkang telur ayam, namun penduduk hanya makan bagian kuningnya saja. Oleh arsitek saat itu akhirnya diusulkan untuk mencampurkan putih telur sebagai perekat batu.
Tak heran jika hingga kini masyarakat setempat hidup berdampingan dengan gotong-royong di sana. Pengalaman wisata kultural di Pulau Penyengat dapat menjadi alternatif liburan karena letaknya di antara Pulau Bintan dan Batam yang kaya akan pantai nan indah.
Melanjutkan lagi menelusuri Pulau Penyengat, di mana susunan jalan tertata rapi diikuti oleh rumah melayu yang berbaris-baris apik, ketemulah sebuah kompleks pemakaman raja-raja melayu. Dari situ terkuak sejarah terbentuknya tata bahasa yang kita gunakan sehari-hari.
"Seharusnya pulau ini bisa dijadikan world's heritage karena merupakan pulau bersejarah. Bayangkan kalau negara kita tak punya bahasa persatuan? Raja Ali Haji yang menciptakan gurindam dua belas sudah menjadi pahlawan nasional pada era Presiden Megawati. Tentu tindak lanjutnya setelah ini adalah harus kita buat kegiatan sastra yang berpusat di pulau ini. Pemerintah akan mendukung kegiatan untuk menunjang pariwisata seperti itu," tutur Menpar Arief Yahya sambil berjalan-jalan santai menikmati keramahan suasana di Pulau Penyengat, Kepri, Minggu (22/2/2015).
Benar saja, rupanya pulau ini menjadi destinasi wisata oleh masyarakat mancanegara dari ras melayu. Mereka melakukan napak tilas dari pulau yang merupakan peninggalan Kerajaan Melayu itu.
Pulau Penyengat merupakan mas kawin yang diberikan oleh Raja Mahmud kepada Engku Putri Raja Hamidah. Pernikahan keduanya bisa dibilang mengawali persilangan budaya antara Melayu dan Bugis. Arief Yahya pun berharap nantinya pulau ini menjadi pusat bahasa yang dikunjungi pula oleh wisatawan domestik.
Tak hanya ada masjid dan makam saja, di tengah-tengah pulau ada sumber air tawar yang amat segar. Konon dahulu kala pulau ini berjuluk Pulau Air Tawar karena menjadi tempat persinggahan para nelayan untuk mengisi perbekalan air minum.
Namun pada tahun 1900-an, tentara Belanda yang mencoba mengambil air diserang oleh serangga-serangga penyengat (sejenis lebah) di pulau itu. Hingga kini pulau tersebut diberi nama Pulau Penyengat Inderasakti.
(shf/shf)
Komentar Terbanyak
Bangunan yang Dirusak Massa di Sukabumi Itu Villa, Bukan Gereja
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Brasil Ancam Seret Kasus Kematian Juliana ke Jalur Hukum