Mereka yang Tak Bisa Berbahasa Indonesia di Pedalaman Papua

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Mereka yang Tak Bisa Berbahasa Indonesia di Pedalaman Papua

Afif Farhan - detikTravel
Jumat, 30 Okt 2015 07:20 WIB
Mama di Desa Ugimba (Afif/detikTravel)
Ugimba - Tidak ada yang namanya bahasa Papua, karena beda suku beda pula bahasanya. Bahasa Indonesia menjadi bahasa pemersatu di sana. Namun, banyak yang berucap 'selamat pagi' walaupun sudah malam.

Ekspedisi Jurnalis ke Carstensz 2015 pada bulan Agustus lalu, masih menyisakan banyak cerita. Cerita yang tak ada habisnya, dari soal bentangan alam sampai kehidupan masyarakat. Terutama, masyarakat yang hidup di pedalaman hutan Papua yang jarang berjumpa oleh orang luar.

Ada satu pengalaman menarik yang saya rasakan ketika menetap selama 3 hari di Desa Ugimba, yang berlokasi di kawasan Pegunungan Tengah yang belum ada listrik atau jalanan beraspal. Kendaraan bermotor saja, tidak ada.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Selamat pagi," begitu ucapan salah seorang mama (sebutan untuk wanita Papua yang sudah berumur atau menikah).

Tidak ada yang salah dari ucapannya. Dia pun mengucapkannya dengan lancar. Hanya saja, waktu yang tidak tepat karena mama tersebut mengucapkannya di malam hari.

Menggelitik, iya. Saya mencoba menahan tawa dengan membalas ucapannya dengan senyuman. Tapi apa yang mama itu ucapkan, bikin saya jadi kepikiran. Mama hanya bercanda, atau memang benar-benar tidak tahu apa yang diucapkannya?

Maaf atas tawa saya mama. Setelah menjelajahi Desa Ugimba, saya baru tahu kalau orang-orang di sana masih banyak yang belum bisa berbahasa Indonesia. Dari orang-orang tua sampai anak-anak.

Bapak, mama, adik, kakak, selamat pagi, terima kasih dan hormat, kata-kata itu yang rata-rata pasti bisa diucapkan oleh mereka. Gue, elo atau kata-kata gaul lainnya, sudah dijamin mereka pasti tidak tahu.

Selebihnya, mereka menggunakan bahasa universal. Senyuman, gelengan atau anggukan kepala. Saya mencoba belajar bahasa mereka, ah sungguh rumit. Serumit mereka yang belajar bahasa Indonesia.


Anak-anak Desa Ugimba yang selalu tersenyum dan tidak bisa diajak mengobrol (Afif/detikTravel)

Meski begitu, keramahtamahan mereka tidak berkurang setitik pun. Selama pendakian ke Puncak Carstensz, saya ditemani oleh mama-mama yang menjadi porter dan tidak bisa berbahasa Indonesia. Tapi... salah siapa mereka tidak bisa berbahasa Indonesia?

Jarak dari Desa Ugimba ke Kota Timika yang sudah modern, berjarak 3 hari lebih berjalan kaki. Sekolah untuk mengajarkan bahasa Indonesia juga belum ada di Desa Ugimba. Ada sih, didirikan oleh pemuda setempat, Maximus Tipagau. Namun sayang, gurunya hanya dua orang saja untuk mengajar puluhan orang. Aduh, alat tulisnya saja terbatas.

Tidak adil pula kalau menyalahkan orang-orang Papua yang bahasanya ada ratusan. Itu kekayaan mereka yang diberikan oleh Tuhan. Lalu siapa dong yang harus bertanggung jawab?

Jawaban saya, harusnya Desa Ugimba ini diberikan sekolah atau tempat pendidikan yang lebih layak. Agar anak-anak dan pemuda di sana bisa mengerti bahasa Indonesia. Harusnya, Desa Ugimba ini sudah tersentuh oleh pembangunan, sehingga memudahkan masyarakatnya untuk berjalan ke kota-kota atau desa-desa lain.

Harusnya, Desa Ugimba ini mulai dimasuki sinyal telepon dan internet. Supaya, mereka bisa tahu kehidupan di luar desa mereka. Di balik hutan, sungai dan perbukitan. Yang harus diingat kalau itu semua tercapai, jadikan mereka 'tuan' di rumahnya sendiri. Sebab tak sedikit desa di negeri ini yang mulai maju, namun masyarakatnya malah tergusur oleh pendatang-pendatang.

Saya hanya bisa berdoa dan melakukan yang terbaik agar Desa Ugimba ini mulai dikenal banyak orang. Desa yang alamnya sangat indah dan menjadi salah satu jalur pendakian ke Puncak Carstensz, puncak tertinggi di Indonesia. Jujur, berat hati ketika harus beranjak dari Desa Ugimba, karena saya sudah jatuh cinta dengan orang-orang di dalamnya.

Amakane, bapak, mama, adik. Itulah bahasa Suku Moni di Desa Ugimba yang merupakan kata sapaan saat bertemu dan juga bisa berarti terimakasih. Sekali lagi, amakane!


Penulis selfie dengan mama-mama Papua (Afif/detikTravel)

(sst/sst)

Hide Ads