Ya, gila. Itulah kata yang menggambarkan panjat tebing di Puncak Carstensz, satu dari Seven Summit dunia. Agustus 2015 silam, saya berhasil menapakan kaki di atasnya tapi harus melalui banyak tantangan yang setengah mati sulitnya. Salah satunya, tentu saja panjat tebing dari Teras Besar ke Summit Ridge.
Rute pendakiannya begini, dari Basecamp Danau-danau di ketinggian 4.330 mdpl yang merupakan kamp terakhir sebelum ke Puncak Carstensz, harus berjalan melintasi Yellow Valley (Lembah Kuning). Perjalanan pun dimulai pukul 04.00 WIT.
Yellow Valley (Afif/detikTravel)
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perjalanannya pun naik turun. Hingga sampai di kaki Puncak Carstensz di ketinggian 4.300 mdpl, di sinilah awal pendakian dimulai. Tali yang membentang ada di depan mata.
Asal tahu saja, tali-tali tersebut dipasang oleh para pendaki. Kebanyakan oleh para pemandu pendakian, yang mana sembari mendaki dan memandu pendaki, mereka juga membawa tali untuk mengganti yang sudah rusak.
Panjat Tebing Dimulai
Cowstail sudah terpasang, kini saatnya mendaki ke atas. Sekitar 300-an meter, treknya terus menanjak ke atas. Namun untungnya masih banyak titik yang landai sehingga bisa beristirahat sejenak.
Namun tentu saja, fisik terkuras hebat. Udara yang main tipis, membuat nafas ngos-ngosan. Belum lagi, bebatuannya sangat tajam. Kalau tergesek, jaket dan celana bisa robek. Saya pun merasakan sendiri.
Memulai panjat tebing (Afif/detikTravel)
Sekitar 1-2 jam, akhirnya saya tiba di Teras Besar di ketinggian 4.600 mdpl. Suatu daerah landai yang luas dan dipenuhi bebatuan kerikil. Tempat ini memang jadi lokasi peristirahatan para pendaki sebelum tiba di Summit Ridge. Saya pun meluruskan kaki, minum dan makan camilan biskuti untuk mengisi tenaga.
Setelah dirasa cukup, perjalanan kembali dimulai. Berbeda dengan trek sebelumnya, yang ini lebih menantang. Kemiringan 90 derajat dan jaraknya sampai ke atas, ke Summit Ridge, dengan ketinggian 4.700 mdpl, sekitar 100 meter lebih. Gila!
Inilah tebing yang setinggi Monas, atau mungkin lebih tinggi! (Afif/detikTravel)
Saya harus pintar-pintar menapakan kaki. Sebab banyak kerikil dan batu-batu kecil, yang kalau diinjak bisa jatuh ke bawah dan berbahaya untuk pendaki lain di bawah saya. Tangan pun harus pintar-pintar memilah batuan yang harus dipegang. Cari yang kuat.
Hap.. hap.. Tenaga saya pusatkan di tangan untuk mendorong tubuh ke atas. Melihat ke bawah, rasanya merinding sangat. Batu, batu hanya bebatuan. Saya terus mendongak ke atas, agar terus bisa naik.
Mengeluarkan kamera di sini pun susah. Fokus saya hanya terpusat pada tali saja. Di beberapa titik, saya haruus mengganti jalur tali. Ini yang berat dan sulit.
Harus hati-hati melangkah di atas kerikil karena ada pendaki di bawah (Afif/detikTravel)
Sepanjang perjalanan, ada setidaknya dua sampai tiga jalur tali. Satu digunakan, sisanya untuk cadangan jikalau ada tali yang bermasalah. Tapi juga, kadang pendaki harus bepindah jalur.
Sebelum berpindah tali, yang harus diperhatikan adalah cowstail. Cowstail ini harus lebih dulu terpasang dan pastikan terpasang dengan benar. Sebelum itu, badan jangan berpindah dulu!
Cowstail adalah 'pegangan nyawa' selama panjat tebing (Afif/detikTravel)
Tangan saya pegal banget rasanya. Nafas juga makin ngos-ngosan. Matahari yang terik, sangat menyilaukan dan terasa membakar kulit. Bibir juga mulai pecah-pecah. Tidak, tidak boleh menyerah.
Saya terus memanjat bebatuan. Hingga akhirnya 2 jam, tibalah di Summit Ridge. Alhamdulillah, alhamdulillah rasa syukur saya haturkan berkali-kali. Sangat tidak percaya, saya bisa melewati tebing ini sebab ini jugalah kali pertama saya melakukan panjat tebing.
Tapi sebenarnya, masih banyak tantangan di Summit Ridge. Dari Kandang Babi sampai celah bebatuan yang lebar seperti jurang harus dilewati. Butuh 2 jam lagi trekking dengan cowstail yang harus terus terpasang di tali.
Untuk turunnya, dari Summit Ridge ke Teras Besar, ada teknik berbeda. Pendaki menggunakan teknik rappeling, yang mana meluncur ke bawah dengan badan menghadap ke atas. Kalau di film-film, seperti melihat pasukan loncat-loncat menuruni tebing.
Turun dengan teknik rappeling (Afif/detikTravel)
Nyatanya tidak semudah itu, pijakan kaki lagi-lagi harus tepat. Tangan pun terasa sakit, sebab gesekan tali begitu terasa di kulit walau sudah menggunakan sarung tangan. Lagi-lagi, saya harus melewati tebing dengan kemiringan 90 derajat dengan tinggi 100 meter.
Sungguh, pengalaman panjat tebing di Puncak Carstensz sangat menegangkan. Jantung berdecak kencang, keringat mengucur deras dan stamina terkuras. Jika dipikir, ketinggian tebingnya yang 100 meter lebih hampir sama dengan tinggi Monas di Jakarta. Tapi tentu saja, mendaki tebing di Puncak Carstensz ini lebih 'gila'!
Berani panjat tebing di Puncak Carstensz? (Afif/detikTravel) (sst/sst)
Komentar Terbanyak
Penumpang Hilang HP di Penerbangan Melbourne, Ini Hasil Investigasi Garuda
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol