"Saya ke Puncak Soekarno atau disebut juga Puncak Jaya dan Puncak Carstensz Timur sudah pernah. Puncak Sumantri belum," kata Ardeshir membuka perbincangan kepada detikTravel, Rabu (14/11/2018).
Sedikit background tentang Ardeshir, dirinya pernah menjadi ketua tim ekspedisi Indonesia Seven Summit Expedition di tahun 2012. Dia sudah berdiri di 5 puncak tertinggi di dunia yaitu Carstensz, Elbrus, Kilimanjaro, Aconcagua dan Vinson Massif. Hanya Everest dan Denali saja yang belum diraihnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Perlengkapannya seperti krampon (sepatu es), tali, kapak es, kacamata yang UV 400, serta perlengkapan pendakian pada umumnya seperti sarung tangan dan lain-lain," terangnya.
![]() |
Tali digunakan untuk keselamatan. Ardeshir menjelaskan, para pendaki yang mau menjelajahi Puncak Jaya, Puncak Sumantri dan Puncak Carstensz Timur harus tersambung dengan tali yang dikaitkan pada harness. Supaya jika ada yang terjatuh, ada temannya yang menahan.
"Minimal kalau bertiga menggunakan tali, tapi kalau berdua jangan supaya dua-duanya tidak terjatuh. Kalau kapak es berguna untuk menahan badan jika ada ada salah satu teman terjatuh. Yang bawa kapak es, biasanya di depan atau di belakang dan harus tahu cara pemakaiannya," paparnya.
BACA JUGA: Penjelasan BMKG Mengenai Es Abadi Indonesia yang Akan Hilang
Untuk mendaki Puncak Jaya dan Sumantri, pendakiannya bisa dari Basecamp Danau-danau. Basecamp Danau-danau ini merupakan kamp para pendaki sebelum menuju ke Puncak Carstensz, titik tertinggi di Indonesia setinggi 4.884 mdpl. Sedangkan untuk ke Puncak Carstensz Timur, bisa dari Yellow Valley yang berada di seberang Basecamp Danau-danau (dipisahi oleh bukit).
"Rata-rata menghabiskan waktu sekitar 5-6 jam jalan kaki kalau ke Puncak Jaya dan Sumantri dari Basecamp Danau-danau. Kalau ke Puncak Carstensz Timur dari Yellow Valley juga sekitar 5-6 jam. Namun, semua kembali pada kemampuan masing-masing pendaki," terang Ardeshir.
![]() |
Suhu di puncak-puncak es abadi tersebut menurut Ardeshir, sekitar -5 derajat Celcius. Belum lagi ditambah angin dan kabut, yang suhunya bisa lebih makin dingin.
"Di puncak-puncak tersebut, patahan-patahan esnya kelihatan sehingga kita lebih aman melangkah. Berbeda kalau di gunung-gunung es yang memang sering tertutup salju, patahan esnya tidak terlihat sebab sudah tertutup salju segar. Harus hati-hati berjalan," urainya.
![]() |
Saat mendaki, para pendaki juga tidak bisa berjalan lurus alias harus zig-zag. Sebabnya, jalurnya berupa es yang licin.
"Kita itu kan nanjak di es, bukan jalan datar tapi jalan mendaki. Jalan mendakinya pun tak bisa garis lurus harus zig-zag. Ya seperti jalannya kepiting saja," ujar Ardeshir.
Ardeshir pun mengaku sedih jika es abadi Indonesia di Papua itu akan hilang. Ya mau bagaimana lagi, pemanasan global memang sulit terbendung.
"Pertama kali ke sana, adalah pengalaman pertama mendaki di es," tutupnya.
(aff/aff)
Komentar Terbanyak
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol