Kolam wudhu Masjid Agung Demak merupakan situs peninggalan sejarah masa Kasultanan Demak. Ada banyak kisah sejarah di kolam tersebut.
Selain digunakan untuk berwudhu Walisongo, kolam wudhu tersebut pernah dijadikan tempat sayembara untuk menentukan sultan ke 4 di Kasultanan Demak Bintoro.
"Kolam wudhu atau blumbang itu, pertama untuk wudhu para santri Raden Fatah, sebelum menjadi sultan, yaitu sebagai pengasuh pondok pesantren Glagah Wangi. Termasuk digunakan berwudhu untuk orang-orang berjamaah di masjid, Raden Fatah dan Walisongo. Sejarahnya, termasuk juga mengantarkan seseorang menjadi sultan selanjutnya, pergantian sultan, yaitu Jaka Tingkir atau Mas Karebet," jelas pengurus Takmir Masjid Agung Demak, Wagiyo pada detikTravel di area masjid, Kamis (27/8/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Wagiyo menjelaskan, Jaka Tingkir merupakan keturunan Brawijaya V dan menantu dari Sultan Trenggono. Yaitu Jaka Tingkir merupakan putra dari Raden Kebo Kenongo, yakni dari Putra Raden Buyut yang merupakan dzuriyah atau keluarga Brawijaya V.
Selain itu lanjutnya, Jaka Tingkir merupakan menantu dari Sultan Trenggono, yaitu istri Jaka Tingkir yaitu adik dari Ratu Kalinyamat.
"Jaka Tingkir juga menjadi tokoh senopati perang, atau kepala keamanan di Kasultanan Demak Bintoro," jelas takmir Masjid Agung Demak yang telah bertugas sekitar 20 tahun tersebut.
![]() |
Ia menerangkan, pada saat masa jeda atau kekosongan pemimpin di Kasultanan Demak Bintoro, setelah Sultan Trenggono wafat, yang ditunjuk sebagai pemimpin yaitu Sunan Prawoto atau Sunan Bagus Mukmin yang menjabat kurang lebih 3 tahun.
"Ketika dinobatkan secara resmi, beliau tidak mau. Beliau lebih memilih kesufiannya atau kedekatannya dengan sang Kholik. Sehingga tabuk kepemimpinan itu diserahkan kepada adiknya, namanya Kalinyamat. Yakni seorang istri Adipati Jepara, Pangeran Hadiri dari Kasultanan Sumenep. Sehingga Ratu Kalinyamat lah sang memegang Kasultanan Demak Bintoro saat itu," tuturnya.
"Sampai jeda selesai, Walisongo melihat supaya pemerintahan Kasultanan Demak Bintoro ini tetap berjalan dengan baik, tidak terjadi perselisihan, maka perlu adanya seorang pemimpin yang memang sah atau raja yang sah seperti dulu," sambungnya.
Lanjutnya, lalu Walisongo menimbang, kalau adu kekuatan atau perang dengan fisik, itu akan menjadi bumerang atau pertumpahan darah di Kesultanan Demak Bintoro. Kemudian, Walisongo mengambil hikmah dengan membuat sayembara atau lomba.
"Lombanya berbunyi, barang siapa yang bisa meloncati kolam wudhu ini dengan pegang tombak dan membelakangi, atau mundur, maka semuanya harus lego legowo. Atau harus ikhlas, pada siapapun atau pihak manapun akan dinobatkan menjadi sultan ke empat di Kasultanan Demak Bintoro," terangnya.
"Itu bukan hanya diikuti oleh keluarga besar raja atau kasultanan, tidak, dari masyarakat jelata pun boleh. Karena menurut Walisongo yang bisa tetap orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Ternyata sejarah menyampaikan, yang bisa hanya Jaka Tingkir. Melompat dengan pegangan tombak dan mundur. Akhirnya beliaulah, Jaka Tingkir dinobatkan sebagai sultan ke empat di Kasultanan Demak Bintoro dengan gelar Sultan Hadiwijoyo," jelas Wagiyo yang juga purnawirawan TNI tersebut.
Wagiyo menjelaskan, kolam wudhu tersebut dulunya luas hingga ke area makam. Dia memperkirakan kolam wudhu tersebut memiliki lebar sekitar 50 meter. Sementara kolam wudhu yang saat ini berukuran 10 x 25 meter tersebut sudah dari peninggalan leluhur untuk mengenang jasa para wali.
(rdy/ddn)
Komentar Terbanyak
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Viral Keluhan Traveler soal Parkir Jakarta Fair 2025: Chaos!
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol