Menjajal Terjalnya Puncak Kawah Sumbing

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

d'Traveler Stories

Menjajal Terjalnya Puncak Kawah Sumbing

Arnaldi Nasrum - detikTravel
Minggu, 20 Sep 2020 11:50 WIB
Gunung Sumbing di Wonosobo.
Puncak kawah di Gunung Sumbing (arnaldinasrum/d'Traveler)
Wonosobo -

Gunung Sumbing adalah salah satu spot pendakian yang menantang. Traveler bisa mencobanya saat berkunjung ke Wonosobo.

Di balik gundukan bukit ini ada sebuah savana dengan padang rumput yang tampak mulai tandus. Di sekelilingnya, beberapa jenis pohon tumbuh menyebar. Jika terus berjalan, savananya akan berubah menjadi lahan kering yang dipenuhi rekahan tanah akibat lereng yang terjal.

Sangat kontras dengan area lainnya yang sangat hijau. Tidak banyak yang dapat dinikmati kecuali pemandangan Gunung Sindoro yang puncaknya masih tertutup awan. Di sinilah saya dan keempat teman lainnya memulai pendakian menuju puncak kawah Gunung Sumbing, Jawa Tengah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Setelah melewati bukit yang cukup terjal dan penuh dengan bebatuan, saya akhirnya tiba di Pos Watu Kotak. Masih butuh waktu sekitar 2 jam untuk sampai di titik tertinggi, 3.371 mdpl. Dari sini, saya bisa melihat bibir kawah meski masih samar-samar. Kepulan asap dan aroma kawah sangat menyengat. Sesekali saya harus berhenti dan menarik nafas panjang.

Jalur pendakian Gunung Sumbing termasuk yang sangat terjal. Harus siap dengan jalan yang berkelok dan penuh dengan kerikil yang tajam. Semakin mendekati puncak, alurnya semakin curam.

ADVERTISEMENT
Gunung Sumbing di Wonosobo.Sabana di Gunung Sumbing, Wonosobo (arnaldinasrum/d'Traveler)

Salah satu yang paling menantang menurut saya adalah ketika melewati tanah putih. Kira-kira dua tanjakan sebelum mencapai puncak. Hujan gerimis membuat tanah begitu licin dan harus menapak ke dataran yang lebih tinggi dalam waktu yang bersamaan. Sangat menguras tenaga.

Terus menapaki jalan, sebuah papan penanda kemudian muncul di hadapan saya. Tandanya puncak sisa beberapa puluh meter lagi. Karena saat itu jalan yang saya temui memiliki persimpangan, saya kemudian memilih jalur menuju puncak kawah Gunung Sumbing.

Puncak ini tidak begitu populer. Berbeda dengan puncak lainnya yang lebih banyak diserbu oleh pendaki lainnya. Dari sini, kepulan asap kawah yang tebal membuat Gunung Sumbing seakan memanas. Ketika berdiri membelakangi kawah, pemandangan di hadapan saya membuat saya sadar bahwa bersama Gunung Sindoro, Gunung Sumbing membentuk bentang alam gunung kembar.

Ngecamp selama dua hari

Menikmati keindahan lahan hijau pinggiran Kota Wonosobo dari puncak membuat saya lupa jika cuaca saat itu mendung. Tak lama kemudian, hujan pun turun meski tidak begitu deras. Tandanya, saya harus bergegas kembali ke tenda.

Ini adalah hari kedua saya berada di gunung Sumbing. Tampaknya perjalanan menuruni puncak kawah tidak lebih sulit saat mendakinya. Benar saja, waktu tempuhnya bahkan setengah dari yang kami habiskan saat mendaki.

Tiba di camp yang berada di Pos ketiga, saya dan teman-teman yang lain bergegas merapikan barang-barang. Siang ini adalah jadwal kami harus turun. Kira-kira dua jam dari pos tiga menuju base camp.

Kami memiliki agenda yang lain, mengunjungi Candi Borobudur di Magelang. Sayangnya, saat baru memasukkan beberapa barang ke dalam tas, terdengar suara hush alias Hujan deras!.

Karena tak kunjung berhenti hingga sore, saya pun memutuskan untuk kembali menikmati malam yang tenang di gunung. Apalagi kondisi fisik beberapa teman sedang tidak fit.

Cuaca di Gunung Sumbing yang mudah berubah memang memerlukan proses adaptasi tubuh yang ekstra. Persediaan bekal pun masih tersisa cukup banyak. Akhirnya, aktivitas ngecamp pun menjadi dua hari.

Hal yang paling menarik bagi saya ketika ngecamp adalah saat memasak dan ngobrol seru di depan tenda. Keterbatasan sumber daya selalu membuat suasana menjadi lebih hangat terutama ketika berbagi satu sama lain.

---
Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikTravel, Arnaldi Nasrum dan sudah tayang di d'Travelers Stories.




(rdy/rdy)

Hide Ads