Karya arsitektur klasik selalu memiliki daya tarik. Mengamati dan menikmati suasana di dalam bangunan lawas tak jarang menjambak ingatan ke masa lalu.
Di Kabupaten Pangandaran ada satu bangunan klasik yang cukup terkenal bagi masyarakat Kecamatan Parigi, yakni rumah milik Tietiek Kartiyamah. Lokasinya tak jauh dari alun-alun Kecamatan Parigi.
Bangunan klasik ini semakin dikenal setelah dijadikan kedai kopi dan menjadi salah satu tempat nongkrong anak-anak muda Pangandaran. Arsitektur eksterior dan interiornya yang klasik menjadi daya tarik dan kerap dijadikan tempat foto-foto yang instagramable.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ruangannya cukup luas dengan ukuran pintu dan jendela yang sangat besar, khas bangunan klasik. Selain itu jarak dari lantai ke atap pun cukup tinggi. Akses masuk ada 3 pintu di bagian muka. Sehingga memberikan kesan jadul yang begitu kuat.
Bangunan ini ternyata memiliki sejarah dan menjadi saksi perjalanan panjang kehidupan masyarakat Parigi Pangandaran. Masyarakat Pangandaran mengenal fungsi bangunan ini dengan beragam sesuai usianya.
![]() |
Anak-anak milenial mengenalnya sebagai kedai kopi, bagi yang berusia 30-an mengenalnya sebagai toko Dudu dan warga yang berusia 60-an mengenalnya sebagai bangunan Sekolah Rakyat atau eks Klinik Belanda. Ada pula yang mengenalnya sebagai toko kain batik. Namun dari sekian banyak sebutan terhadap bangunan itu, sebutan yang paling banyak dikenal warga adalah Toko Dudu.
"Saya tidak tahu kapan persisnya bangunan ini didirikan. Yang jelas kami ingin tetap mempertahankannya," kata Ria Siti Sadariyah, anak pemilik bangunan ini, Sabtu (30/1/2021).
Dia mengatakan ibunya, Tietiek Kartiyamah lahir pada tahun 1938 di rumah itu. Sehingga dia berasumsi bangunan ini sudah berdiri sekitar tahun 1900.
"Jaman kakek saya pun rumah ini sudah ada. Ada dua bangunan, yang depan ini yang jadi kedai kopi. Lalu di belakang ada lagi bangunan kecil yang kami namakan Bumi Alit," kata Ria.
![]() |
Berdasarkan cerita keluarganya, Ria mengatakan bangunan ini sempat dijadikan markas tentara penjajah Belanda.
"Kakek dan nenek saya diusir. Rumah ini dijadikan markas tentara," kata Ria. Kemudian selang beberapa tahun, dijadikan klinik kesehatan bagi tentara Belanda. "Nah Bumi Alit yang dibelakang itu jadi rumah dinas dokternya," kata Ria.
Setelah memasuki era kemerdekaan, bangunan itu kemudian dijadikan sekolah rakyat. Banyak warga sepuh di Parigi yang terkenang belajar baca tulis di bangunan itu. Di awal-awal orde baru, bangunan dimanfaatkan oleh untuk berjualan kain batik. Kemudian dijadikan toko kelontongan.
"Disebut toko Dudu, karena kakek kami namanya Dudu Suparman," kata Ria.
Sepeninggal Dudu Suparman, bangunan itu kemudian dijadikan tempat tinggal. Baru pada 2019 lalu dijadikan kedai kopi sampai sekarang. Pemilik tetap merawat bangunan itu dalam kondisi aslinya.
"Sempat ada petugas dari Cagar Budaya menganjurkan kami untuk tetap mempertahankan bangunan ini. Ya kami memang ingin mempertahankan dan merawatnya. Sempat beberapa kali renovasi, tapi hanya bagian atapnya saja. Material bangunan dan kayu-kayu jaman dulu bagus-bagus. Kuat dan tahan lama," kata Ria.
Ria juga mengatakan sudah tak terhitung banyaknya orang yang ingin membeli bangunan tersebut. Tapi dia dan keluarganya tak berniat menjualnya. Bahkan dia kini punya trik untuk menghindari bujuk rayu calon pembeli.
"Kalau ada yang tanya-tanya mau membeli rumah ini, saya sering berpura-pura bukan pemiliknya. Saya bilang saja, pemiliknya gak ada lagi di Jakarta, saya cuma penunggu," kata Ria. Dengan begitu, calon pembeli tak lagi membujuk untuk membeli rumah tersebut.
Ditanya mengenai obsesinya terhadap rumah klasik itu, Ria mengatakan dia memiliki impian untuk menjadikan rumah itu sebagai tujuan wisata edukasi yang dikemas menjadi tempat kuliner dan kawasan hijau.
(sym/sym)
Komentar Terbanyak
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol