Di Papua, ada satu jenis sayur yang unik tapi rasanya lezat. Orang Papua menyebutnya sebagai sayur Lilin. Seperti apa kisahnya? Mari kita simak!
"Orang Papua menyebutnya sayur lilin. Jika daun pembungkusnya dibuang, bentuknya memang menyerupai lilin panjang yang meruncing," ujar Wulf Schiefenhovel, profesor antropologi Max Planck Institute Jerman.
Menurut Schiefenhovel, nama ilmiah sayur lilin adalah Saccharum edule, atau sejenis tebu yang dapat langsung dimakan. Besar kemungkinan leluhur orang Papua mengembangbiakkan sayur lilin ini dari tumbuhan pendahulunya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Schiefenhovel memperkirakan orang-orang Papua mulai membudidayakan sayur lilin sekitar 8.000 tahun silam. Tak hanya sayur lilin, para leluhur orang Papua yang menghuni pegunungan telah mendomestikasi talas (Colocasia esculenta).
Setelah itu ubi jalar (Ipomoea batatas), sumber karbohidrat terpenting bagi penduduk pegunungan Papua, dikenalkan dari Amerika Tengah dan dari bagian utara Amerika Selatan.
Baca juga: Ini 2 Hewan Paling Berbahaya di Papua |
Ubi jalar dan keladi menjadi makanan pokok serta dihidangkan kepada tamu dan digunakan untuk keperluan upacara adat, salah satunya bakar batu.
"Jadi, angkat topi untuk orang Papua, leluhur mereka berhasil beralih dari kegiatan berburu, mengumpulkan makanan dan menangkap ikan ke bercocok tanam sesuai kebiasaan setempat, ketika di Eropa belum ada pembudidayaan tanaman pangan seperti itu," imbuh Schiefenhovel.
Sayur lilin ditanam di kebun oleh mama-mama Papua, sayur ini kemudian mereka jual di pasar tradisional. Sepintas bentuk sayur lilin sulit dibedakan dari tanaman tebu, namun segera terlihat bahwa kedua spesies itu berkerabat dekat.
Lain dengan tebu, bukan batang sayur Lilin yang dimakan, melainkan bakal bunga yang belum mekar dengan wujud masih tersembunyi di balik daun pembungkusnya.
Baca juga: Ada Ikan Kaca dari Papua, Sudah Tahu Belum? |
Suku Eipo di Pegunungan Bintang, yaitu sebagian dari pegunungan Papua yang memiliki ketinggian hingga 5000 m dpl dan dahulu masih terisolasi, terkenal karena menanam berbagai varietas (kultivar) spesies sayur lilin di kebun-kebun mereka di lereng pegunungan sebelah utara.
Oleh mereka, sayur lilin dinamakan bace, selain untuk dikonsumsi juga digunakan sebagai alat barter. Anak-anak suku Eipo pun sudah mengerti bagaimana cara membedakan aneka jenis sayur lilin yang ada.
"Ini sesuatu yang menakjubkan, mengingat bagi kami peneliti, berbagai kultivar itu sangat mirip satu sama lainnya," kata Schiefenhovel.
Sama seperti suku-suku lainnya di kedua sisi perbatasan Indonesia dan Papua Nugini, suku Eipo umumnya mengolah sayur lilin dengan memanggangnya di atas api dalam keadaan masih terselubung daun pembungkus.
Panas itu cukup untuk mematangkan bakal bunga yang berair, dan aroma asap menambah kelezatannya. Sayur tersebut juga dapat diolah dengan beragam cara lain. Misalnya dikonsumsi langsung dalam kondisi segar, sebagai bagian hidangan campuran, direbus, atau dipanggang.
Hasilnya selalu sesuatu yang spesial dan organik. Schiefenhovel pun heran, bagaimana hingga saat ini belum ada orang yang berusaha mengekspor sayur istimewa ini ke negara lain atau menjualnya di supermarket.
---
Artikel ini dibuat oleh Hari Suroto dari Balai Arkeologi Papua dan diubah seperlunya oleh redaksi.
(wsw/wsw)
Komentar Terbanyak
Penumpang Hilang HP di Penerbangan Melbourne, Ini Hasil Investigasi Garuda
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Ada Apa dengan Garuda Indonesia?