Welcome d'travelers !

Ayo share cerita pengalaman dan upload photo album travelingmu di sini. Silakan Daftar atau

ADVERTISEMENT

Jumat, 30 Apr 2021 10:45 WIB

DOMESTIC DESTINATIONS

Demi Hindari 'Iblis', Suku Ini Masih Tinggal di Rumah Pohon

Hari Suroto
detikTravel
Aerial view of a small village of the Korowai people in a clearing in the tropical rainforest of Newguinea. 

The Korowai people (sometimes also called Kolufu) are living at the Indonesian part of the island of Newguinea (West Papua). The Korowai are still living very isolated as hunter-gatherers and are famous for their tree houses. The first contact between Korowai and Westerners is documented only in 1974.
Rumah Pohon Suku Korowai (iStock)
Jakarta -

Suku Korowai merupakan suku yang unik di pesisir selatan Papua. Sampai sekarang, suku ini masih hidup dan tinggal di rumah pohon.

Suku ini hidup di hutan hujan tropis dengan rumah yang dibangun di atas pohon. Rumah pohon dibangun dengan ketinggian sekitar 12 hingga 35 meter dari permukaan tanah.

Rumah pohon jelas sangat tinggi dan berbahaya, karena angin dengan cepat dapat menghancurkannya. Semakin tinggi rumah pohon, semakin aman keluarga yang tinggal di dalamnya. Rumah ini membuat keluarga aman dari ancaman pemburu kepala, binatang buas, dan tidak terjangkau oleh nyamuk malaria.

Namun alasan yang paling utama sebuah rumah pohon dibangun sangat tinggi adalah ketakutan suku Korowai terhadap serangan 'laleo' atau iblis yang kejam. Makhluk ini dipercaya berjalan seperti mayat hidup yang berkeliran pada malam hari, mencari kerabat mereka.

Dulu sebelum kenal budaya modern, sebagian besar penduduk suku Korowai menganggap setiap materi dan orang-orang dari dunia luar sebagai iblis. Sebutan 'laleo', iblis mati yang berjalan, diterapkan bagi semua orang asing, termasuk orang orang Papua dari daerah lain.

Aerial view of a small village of the Korowai people in a clearing in the tropical rainforest of Newguinea. The Korowai people (sometimes also called Kolufu) are living at the Indonesian part of the island of Newguinea (West Papua). The Korowai are still living very isolated as hunter-gatherers and are famous for their tree houses. The first contact between Korowai and Westerners is documented only in 1974.Suku Korowai Foto: (iStock)

Beras dianggap sebagai sagu milik iblis, atap logam seperti ilalang juga dari iblis. Selama beberapa waktu mereka menolak barang-barang yang dibawa masuk untuk pertukaran atau agar dapat menjadi teman dari suku Korowai.

Mereka bahkan menolak barang-barang yang bermanfaat seperti mata kail dan kapak logam. Kemudian, berangsur-angsur, masyarakat Korowai menerima tawaran barang-barang modern yang akhirnya menjadi penting, seperti korek api gas, parang logam, makanan kaleng dan mi instan.

Kembali ke rumah pohon, tempat tinggal unik ini dapat diselesaikan dalam kurun waktu dua hingga tujuh hari. Mereka memanfaatkan sumber daya alam di sekitarnya yaitu kulit pohon, ilalang, daun sagu, pelepah sagu, rotan, akar, dan ranting pohon. Beragam jenis pohon yang digunakan untuk membangun sebuah rumah pohon. Suku Korowai tidak menggunakan jenis kayu tertentu, namun biasanya pohon berdiameter minimal satu meter menjadi pusat penyangga rumah pohon.

Rumah pohon yang lebih besar memiliki penyekat ruang dan pintu masuk berbentuk runcing di kedua ujungnya, satu pintu untuk pria dan lainnya untuk wanita. Perapian dari tanah liat digantungkan di atas ruang terbuka sehingga mudah dipotong dan dijatuhkan jika bara api tidak terkendali. Rata-rata rumah pohon berukuran sekitar 7x10 meter.

Tulang sisa makanan ditempatkan di bawah atap. Seringkali rumah dibagi dengan dinding penyekat untuk memisahkan jenis kelamin serta menghindari pandangan dan kontak dengan kerabat tertentu.

Konstruksi rumah pohon hanya dapat bertahan sekitar dua hingga tiga tahun. Rumah pohon merupakan bukti kecerdasan suku Korowai yang mampu membangun pemukiman pada area yang sulit untuk ditinggali.

Suku korowai hidup bersama dalam satu marga. Setiap bidang tanah yang telah dibersihkan terdapat sekitar dua atau tiga rumah pohon. Seringkali kematian seorang anggota keluarga menyebabkan perpindahan ke lokasi lain. Kebanyakan penguburan dilakukan di bawah rumah pohon.

Aerial view of a small village of the Korowai people in a clearing in the tropical rainforest of Newguinea. The Korowai people (sometimes also called Kolufu) are living at the Indonesian part of the island of Newguinea (West Papua). The Korowai are still living very isolated as hunter-gatherers and are famous for their tree houses. The first contact between Korowai and Westerners is documented only in 1974.Rumah pohon Suku Korowai Foto: (iStock)

Secara tradisional, mereka hidup terisolasi dengan berburu dan mengumpulkan makanan dari hutan. Batas-batas wilayah geografis setiap marga mencakup wilayah-wilayah tertentu yang terkait erat dengan roh-roh leluhur.

Ritual ulat sagu, pusat kehidupan masyarakat, termasuk mempersembahkan babi, dilakukan dekat lokasi suci. Seringkali, lokasi ini didasarkan pada hubungan antara ciri-ciri khas secara geografis dan mitos asal-usul marga. Batas pemukiman Suku Korowai secara tradisional berupa bentang alam seperti jurang atau sungai.

Atap rumah pohon terbuat dari daun sagu, dinding menggunakan pelepah sagu, atau anyaman daun sagu atau kulit kayu dan lantai papan kulit kayu. Area rumah Suku Korowai dibagi berdasarkan jenis kelamin. Laki-laki berada di sisi timur, perempuan harus menempati posisi barat.

Aerial view of a small village of the Korowai people in a clearing in the tropical rainforest of Newguinea. The Korowai people (sometimes also called Kolufu) are living at the Indonesian part of the island of Newguinea (West Papua). The Korowai are still living very isolated as hunter-gatherers and are famous for their tree houses. The first contact between Korowai and Westerners is documented only in 1974.Rumah pohon Suku Korowai Foto: (iStock)

Sekat berupa tiang yang ditancap ke tanah. Setiap rumah pohon, memiliki beberapa tungku yang keberadaannya disesuaikan dengan jumlah keluarga. Selain untuk masak, asap pembakaran tungku tersebut juga dimanfaatkan untuk mengawetkan konstruksi kayu dari pelapukan. Tangga panjang terbuat dari batang pohon digunakan untuk menjangkau rumah.

***

Artikel ini merupakan kiriman dari Hari Suroto, peneliti dari Balai Arkeologi Papua. Artikel sudah diedit sesuai keperluan berita.



Simak Video "Mengunjungi Rumah Pohon, Menikmati Sejuknya Alam Pegunungan yang Indah dan Alami, Batu"
[Gambas:Video 20detik]
(bnl/bnl)
BERITA TERKAIT
BACA JUGA