Bagus juga pernah mencoba mencari tahu luas asli hutan trembesi ini. Saat ini, luas Hutan De Djawatan sendiri sekitar 9 hektar.
"Kita pernah membuktikan dulu apakah daerah Benculuk ini merupakan hutan trembesi? Ternyata di radius berapa meter di luar lokasi ini kita tidak menemukan tonggak trembesi. Jika seandainya dulu ini luas, hutan trembesi di luar area ini pasti ada lagi. Tapi karena tidak ada, kita bisa menyimpulkan bahwa dulu entah Belanda atau Perhutani sudah menyiapkan lokasi ini untuk TPK," paparnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain berfungsi sebagai TPK, Bagus juga menjelaskan bahwa dulunya Hutan De Djawatan ini juga dilewati jalur kereta. Hal itu dibuktikan dengan adanya rel kereta di depan pintu gerbang hutan.
"Dulu ada kereta komuter dari Banyuwangi sampai ke Benculuk. Berarti kayu dari hutan, diangkut ke sini pakai lori karena dulu belum ada truk. Kemudian di sini dishowroomkan. Ketika ada yang beli, diangkut oleh kereta ke pelabuhan yang letaknya di Pantai Marina," kata dia.
Terkait nama De Djawatan sendiri, Bagus menuturkan nama itu masih terkait dengan Perhutani. De Djawatan dipilih untuk mengingatkan masyarakat akan kejayaan Perum Perhutani.
"Kalau Perhutani itu dulu namanya Djawatan Kehutanan. Orang mengenal djawatan adalah perusahaan pemerintah yang bergerak di bidang sosial, artinya tidak melulu profit oriented," ucapnya.
Di masa pandemi COVID-19 ini, Hutan De Djawatan menyambut wisatawan dengan syarat yang sudah divaksinasi. Tempat wisata ini buka dari Selasa-Minggu mulai pukul 08.00-12.00 WIB dan 13.00-17.00 WIB. Harga tiket masuknya adalah Rp 5.000.
(pin/ddn)
Komentar Terbanyak
Penumpang Hilang HP di Penerbangan Melbourne, Ini Hasil Investigasi Garuda
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol