Singgahlah dulu di Padang Pariaman. Ungkapan di atas lumrah didengarkan oleh orang-orang kampung di Padang Pariaman waktu saya kecil.
Seiring waktu, kalimat sapaan itu mulai jarang terdengar. Mungkin, karena orang sudah menggunakan kendaraan roda dua dan roda empat. Sehingga, sapaan berganti Singgahlah dulu! (dari pesepeda atau pejalan kaki yang melintas di depan kita nongkrong).
Ajakan singgah itu kini sudah tak lagi terdengar. Tapi kalimat itu kini saya sampaikan pada anda pembaca yang melewati kampung kami Padang Pariaman. Bandara Minangkabau Internasional Airport (MIA) itu berada di Padang Pariaman.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pelaju dan wisatawan domestik atau mancanegara akan terlewat untuk setidaknya mampir di Padang Pariaman. Bukan salah mereka memang. Karena nagari kami memang belum mampu menangkap wisatawan tersebut.
Mirip dengan nusantara Indonesia yang terletak di antara dua benua dan dua Samudra. Padang Pariaman Berada di persimpangan antara Bukittinggi dan ibukota Provinsi Padang. Tamu-tamu pun lebih mengenal kota Pariaman dibandingkan Kabupaten Padang Pariaman.
Tawaran Healing dari Padang Pariaman
Kini healing bisa diartikan sebagai "liburan" dalam Bahasa anak Jaksel. Anak Jaksel menempatkan pemulihan kesehatan fisik dan mental dengan melakukan perjalanan keluar dari kurungan pandemi covid-19.
Bahasa ini diproklamirkan remaja (gen Y) dan generasi milenial tentunya terkait kelelahan mereka terhadap kurungan pagebluk. Pagebluk (pandemi Covid-19) akan berulang tahun Maret nanti dan genap dua tahun bercokol di negara kita.
Kehilangan kehidupan sosial tergantikan dengan kehidupan digital ini menggaungkan kata healing sebagai jalan keluar untuk hidup lebih bertualang. Mempertaruhkan risiko terpapar Covid-19 menjadi kebutuhan di saat pemerintah mengencangkan protokol kesehatan melalui pembatasan kegiatan masyarakat.
Ada satu lokasi healing potensial bagi masyarakat yang ingin berwisata aman dan terbebas dari risiko Covid-19. Telusuri Nagari Pakandangan, di sini akan dijumpai lokasi kuliner juara, rute sepeda jelajah perdesaan yang masih perawan dan tempat lokasi wisata adventure (rafting, jalur motocross dan mobil jelajah offroad).
Banyak kendala memang untuk memulai destinasi wisata di kampung kami. Bukan saja karena pariwisata mendapat stigma buruk, lebih karena penyakit masyarakat (pekat) yang menyertai kedatangan tamu wisata tersebut. Pandemi merubah total kenormalan baru tersebut.
Musafir (wisatawan) bisa melakukan wisata pilgrim ke nagari kami. Ada Surau Mato Aie yang megah. Bila ingin menjadi Pakiah (santri) bisa mendaftar di surau ini.
Banyak pilihan surau untuk menuntut ilmu. Beberapa wilayah di Sumatra Barat memang disinyalir terdapat kantong-kantong pendidikan agama yang tidak memakai pakem Kementerian Agama.
Dalam urusan puasa, mereka harus melihat hilal secara langsung baru mereka memulai untuk berpuasa. Di kampung kami disebut urang puaso kuudian (Orang-orang yang berpuasa kemudian setelah melihat bulan, dan tidak menuruti saran pemerintah). Mungkin saya akan sedikit canggung menerangkan tentang hal itu, karena saya pun tidak mendalaminya tapi tidak salahnya saya berbagi pengetahuan ini.
Kampung kami sudah terbiasa untuk toleransi terhadap perbedaan pelaksanaan ibadah. Orang tua kami pun pernah bercerita shalat ied mereka saat kecil dulu sering dilakukan dua kali karena mengikuti masing-masing Tuanku. Labai, Tuanku dan Syeh adalah guru agama yang disahkan dalam perangkat kaum adat suatu klan (suku).
Nagari Pakandangan memang dilalui beragam air sungai yang bermuara ke laut. Sungai kecil ini di Jakarta disebut Kali, kami menyebutnya Batang Aie (Batang air). Jakarta dinamakan lebak atau cai (ci), maka di kampung kami disebut lubuk. Semua surau menghadap ke lubuk-lubuk ini pada awalnya.
Masjid atau surau yang menghadap ke jalan raya merupakan hasil berkembangnya kawasan. Jadi bila anda melalui jalan-jalan besar di Kampung kami akan jarang terlihat surau. Karena surau berada di dekat bantaran kali, dan terkadang satu surau dan surau berikutnya saling berseberangan dengan dipisahkan batang aie.
Bukan karena pemborosan, tapi karena tiap kampung dan klan (suku-suku) memiliki Kawasan pusaka mereka sendiri. Hingga area pekuburan dan tanah Garapan, ladang maupun sawah tercatat dengan baik dalam wali nagari (kelurahan) sebagai pusako warisan kaum. Wisata surau ini bisa dilalui dengan sepeda lipat, sepeda gravel, sepeda cross country atau Mountain Trail Bike (MTB). Beberapa Kawasan curam bisa menggunakan sepeda downhill bila berminat.
Pemerintah daerah Kabupaten Padang Pariaman pernah mencetuskan Kawasan rafting di kampung kami. Tapi debit air dan kendala non teknis menyebabkan wisata petualang rafting ini mengalami kendala pemasaran dan operasional.
Kami sarankan bawalah sepeda anda ke kampung kami, turunkan sepeda di satu surau, lalu nikmati keaslian suasana pedesaan khas Minangkabau. Aneka menu kuliner tersedia dengan beragam pilihan masakan. Baik berkuah santan, seperti ketupat gulai paku atau Nangka. Maupun berkuah bening seperti soto padang.
Ada beberapa pilihan makanan khas lokal yang tidak ditemui di restoran padang atau gaya kuliner di kampung lain di Sumatra Barat. Nama Kulinernya lapek kampung aro, Sala Lauak dan mangkuak badeta. Makanan ini kini memang tergerus pamornya akibat serangan; Batagor, Siomay, Pempek, Ketoprak dan Bakso.
Tapi tetap bertahan menjadi kuliner pesanan. Jadi, bila anda akan singgah ke kampung kami usahakan sudah terlebih dahulu mengontak operator lokal. Atau apabila punya sanak saudara bisa dijadikan lokal guide. Para tour planner dihimbau untuk mengontak petugas lokal.
Karena kampung kami masih sangat perawan bagi para pelancong. Namanya perawan tentu perlu didekati dengan pendekatan yang halus dan penuh rayuan. Tabik!
----
Romeyn Perdana Putra, peneliti BRIN, traveller asal Padang Pariaman
(iah/ddn)
Komentar Terbanyak
Penumpang Hilang HP di Penerbangan Melbourne, Ini Hasil Investigasi Garuda
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol