Simbol Toleransi, Masjid di Mojokerto Ini Punya Mimbar Bekas Altar

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Simbol Toleransi, Masjid di Mojokerto Ini Punya Mimbar Bekas Altar

Enggran Eko Budianto - detikTravel
Kamis, 07 Apr 2022 16:50 WIB
Masjid Baitul Muttaqin di Desa/Kecamatan Kutorejo sekilas terlihat biasa saja. Masjid ini ternyata menjadi bukti soliditas umat muslim dengan Etnis Tionghoa pada masa kolonial.
Masjid Baitul Muttaqin di Mojokerto (Enggran Eko Budianto/detikcom)
Mojokerto -

Masjid Baitul Muttaqin di Kutorejo, Mojokerto, Jawa Timur menjadi simbol toleransi antara umat muslim dan Tionghoa. Bahkan, sejak masa kolonial.

Simbol toleransi itu ada pada mimbarnya. Mimbar Masjid Baitul Muttaqin dibuat dari bekas altar.

Tak sekadar toleransi antarumat beragama, masjid di atas tanah seluas 60x20 m itu juga menjadi bukti soliditas Etnis Tionghoa dengan umat muslim pada masa penjajahan Belanda. Karena lahan masjid ini hibah dari Keluarga The Boen Keh yang kini keturunannya tinggal di depan Pasar Kutorejo.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Masjid Baitul Muttaqin di Desa/Kecamatan Kutorejo sekilas terlihat biasa saja. Masjid ini ternyata menjadi bukti soliditas umat muslim dengan Etnis Tionghoa pada masa kolonial.Masjid Baitul Muttaqin di Desa/Kecamatan Kutorejo sekilas terlihat biasa saja. Masjid ini ternyata menjadi bukti soliditas umat muslim dengan Etnis Tionghoa pada masa kolonial. (Enggran Eko Budianto/detikcom)

Selain itu, ada kubah beton dengan hiasan kaligrafi itu ditopang 6 pilar kayu besar. Interiornya lebih manis dengan lampu gantung yang klasik.

"Semangat kami menjaga toleransi antarumat beragama. Umat nonmuslim boleh mampir ke sini untuk sekadar melepas lelah. Masjid ini untuk semua ormas Islam. Jadi, tidak identik dengan aliran atau golongan tertentu," kata Tokoh Pemuda Kutorejo, Miftahul Jamil (36) kepada detikcom.

ADVERTISEMENT

"Masjid ini tanahnya hibah dari keluarga Tionghoa. Karena, kala itu masjid yang lama sudah tidak muat menampung jemaah," dia menambahkan.

Desa Kutorejo mulai ramai sejak menjadi pusat pemerintahan Onder Distrik (kecamatan) Koetoredjo yang berdiri tahun 1902. Onder distrik ini masuk wilayah Distrik atau Kawedanan Mojosari. Ditambah lagi karena keberadaan Pabrik Gula Ketanen sehingga Kutorejo menjadi pusat perekonomian sekaligus pemerintahan.

Kian ramainya penduduk yang tinggal di Kutorejo, kata Jamil, membuat kebutuhan akan tempat ibadah juga bertambah. Sehingga Masjid Baitul Muttaqin dibangun tahun 1928 atau 94 tahun silam di atas tanah pemberian keluarga Tionghoa, The Boen Keh.

"Selain karena pemindahan pusat pemerintahan, Kutorejo ramai juga karena ada pasar londo dan pabrik gula yang sekarang menjadi SMA Kutorejo," kata dia.

Jamil menuturkan keluarga Boen Keh kala itu juga menyumbang sebuah mimbar untuk khatib salat Jumat maupun salat Id. Mimbar berbahan kayu berhias ukiran motif kembang itu terus digunakan sampai sekarang. Hanya saja, bagian atap mimbar tersebut telah dipotong.

"Atap mimbar dipotong supaya tidak menjadi polemik. Bentuk atapnya seperti peti mati Tionghoa, ada hiasan ukiran naga juga," kata dia.

Pemerhati Sejarah Mojokerto, Ayuhanafiq, menuturkan Onder Distrik Koetoredjo berdiri karena pemindahan pusat pemerintahan Kabupaten Mojokerto dari Madiopuro ke Desa Kutorejo pada masa kolonial Belanda. Kutorejo menjadi pusat sebuah kecamatan juga tak lepas dari keberadaan Pabrik Gula Ketanen milik keluarga The Boen Keh. Keluarga Etnis Tionghoa ini membeli pabrik gula tersebut dari GC Bohl tahun 1870.

Masjid Baitul Muttaqin di Desa/Kecamatan Kutorejo sekilas terlihat biasa saja. Masjid ini ternyata menjadi bukti soliditas umat muslim dengan Etnis Tionghoa pada masa kolonial.Masjid Baitul Muttaqin di Desa/Kecamatan Kutorejo sekilas terlihat biasa saja. Masjid ini ternyata menjadi bukti soliditas umat muslim dengan Etnis Tionghoa pada masa kolonial. (Enggran Eko Budianto/detikcom)

Pada masa itu, Onder Distrik Koetoredjo dipimpin seorang asisten wedono atau camat bernama Mas Prawiroadinoto. Pembangunan Masjid Onderan Koetoredjo yang sekarang bernama Baitul Muttaqin digelar setelah pembangunan kantor kecamatan.

"Ada cerita menarik dari pembangunan masjid itu. Keluarga The Boen Keh ikut memberi bantuan saat mendirikannya. Bukan hanya bantuan materi, keluarga China asal Kapasan Surabaya itu juga menyumbang mimbar," ujarnya.

Mimbar khatib berbahan kayu jati tersebut, menurut Ayuhanafiq, bukanlah mimbar sembarangan. Sebab mimbar tersebut sebelumnya altar untuk sembahyang keluarga The Boen Keh. Hanya saja ukiran naga pada kanan dan kiri mimbar sudah dipotong untuk menghilangkan kesan Tionghoa.

"Kini yang tersisa adalah ekor dan badannya saja. Mimbar tersebut masih digunakan hingga saat ini," kata dia.

***

Selengkapnya di detikJatim, klik di sini.




(fem/fem)

Hide Ads