Desa di Bali Larang Warga Petik Buah dan Jual Tanah, Hukumannya Berat

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Desa di Bali Larang Warga Petik Buah dan Jual Tanah, Hukumannya Berat

I Wayan Selamat Juniasa - detikTravel
Kamis, 10 Nov 2022 19:34 WIB
BALI, INDONESIA - JUNE 23: Women from Indigenous community of Tenganan Pegringsingan ride ancient spinning wheels called Ayunan Jantra after the Pandanus war ritual called Mekare-Kare on June 23, 2022 in Tenganan Pegringsingan Village, Bali, Indonesia. The ancient Bali Aga Tenganan Pegringsingan village is different from the other villages in Bali, especially in their belief in the God of Indra and Balinese culture are intertwined in the communitys daily life. The village also has its own territory and preserves its traditions in ways contrasting those found in other villages in Bali. Tengananese people on the island of Bali celebrate a month long ceremony called Usabha Sambah to demonstrate respect to the God Indra, the Hindu god of war. One of the rituals during the ceremony is a Pandanus War or Mekare Kare, where two Tengananese men duel each other to shed the blood for the offerings. The tradition originated from a belief that they have to make blood sacrifices to Indra. When the men and boys shed their blood during the battle, this is the ultimate sacrifice and devotion to Indra, and also shows dedication to their community. (Photo by Agung Parameswara/Getty Images)
Desa Tenganan Pegringsingan. Foto: Getty Images/Agung Parameswara
Jakarta -

Tahukah kamu, ada sebuah desa di Bali yang punya aturan ketat soal lingkungan. Warganya tak boleh memetik buah hingga dan menjual tanah sembarangan.

Desa itu adalah Desa Tenganan Pegringsingan yang terletak di Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali. Kelian Desa Adat Tenganan Pegringsingan I Putu Yudiana menjelaskan, awig-awig atau aturan adat tersebut berlaku untuk seluruh krama desa setempat. Terkait larangan memetik buah, aturan tetap berlaku meski buah-buahan tersebut tumbuh di tanah sendiri.

"Jika ada masyarakat Desa Adat Tenganan Pegringsingan ketahuan memetik buah-buahan langsung dari pohonnya, meskipun berada di tanah sendiri, akan dikenakan denda 10 catu beras atau setara dengan 25 kilogram," tutur Yudiana.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Yudiana menegaskan, yang dilarang adalah memetik langsung dari pohonnya. Namun, jika buah-buahan tersebut sudah jatuh dari pohonnya, warga setempat diperbolehkan mengambil atau menjualnya.

Sementara itu, warga dari luar Desa Adat Tenganan Pegringsingan juga boleh mengambil buah-buahan yang sudah jatuh dari pohonnya dengan syarat harus dimakan di tempat. Contohnya jika kebetulan lewat ada durian jatuh, maka harus dimakan di tempat itu juga. Seandainya ketahuan membawa pulang, akan dikenakan denda 10 catu beras.

ADVERTISEMENT

"Peraturan ini dibuat sebagai bentuk pemerataan. Jadi, siapa saja masyarakat yang rajin pergi ke hutan, dia yang dapat buah-buahan lebih banyak. Sedangkan yang malas tidak akan dapat apa-apa," kata Yudiana.

Selain larangan petik buah, krama Desa Adat Tenganan Pegringsingan juga dilarang untuk menjual atau menggadaikan tanah ke luar desa adat meskipun tanah tersebut milik sendiri. Warga hanya diperkenankan menjual atau menggadaikan lahan yang dimiliki kepada sesama warga Tenganan Pegringsingan.

Menurut Yudiana, luas tanah Desa Tenganan Pegringsingan adalah 917.2 hektare. Berdasarkan awig-awig atau aturan adat setempat, tanah seluas itu tidak boleh beralihfungsi.

Warga Desa Adat Tenganan Pegringsingan yang ketahuan menjual atau menggadaikan tanah ke luar desa akan dikenakan denda 2 kali lipat dari harga tanah yang mereka jual. Setelah itu, tanah tersebut akan menjadi milik desa adat.

"Berdasarkan pesan tetua orang Tenganan Pegringsingan, tanah ini ibarat sebuah piring. Nikmati isinya, tapi jangan pernah apa-apakan tempatnya," imbuhnya.




(pin/pin)

Hide Ads