Tradisi tamblang waluh di Desa Adat Bungaya, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem, Bali, viral di media sosial. Sebab, dua remaja laki-laki yang mengikuti tradisi itu saling tendang dan adu kekuatan. Sementara itu, warga lainnya justru bersorak mengitari dua remaja yang sedang bertarung di medan laga.
Panglingsir Desa Adat Bungaya I Wayan Narta (63) mengatakan tradisi tamblang waluh dilaksanakan setiap enam bulan sekali, tepatnya saat penyajaan Galungan atau dua hari sebelum Galungan. Prosesi yang diikuti para pemuda setempat akan berkumpul di Pura Bale Agung sekitar pukul 16.00 Wita.
Setelah itu, mereka berkeliling di tiga titik perempatan desa. Masing-masing terletak di wilayah Banjar Subagan Timbul, Banjar Desa, dan Banjar Beji. Di ketiga perempatan itulah para pemuda laki-laki saling beradu kekuatan kaki. Warga Desa Adat Bungaya juga menyebutnya dengan istilah metinjakan atau menendang dengan kaki satu lawan satu.
"Para pemuda melaksanakan tradisi tamblang waluh dengan penuh kegembiraan, tanpa ada rasa dendam meski mereka saling beradu kekuatan dengan kaki. Tradisi ini merupakan bagian dari perayaan hari raya Galungan, sebagai kemenangan dharma melawan adharma," tutur Narta yang juga dikenal dengan sebutan De Salah Bau, Sabtu (7/1/2023).
Narta menjelaskan, ada beberapa aturan yang harus ditaati warga yang bertarung saat tradisi tamblang waluh. Antara lain tidak boleh menyerang lawan menggunakan tangan serta dilarang menendang kepala dan bawah perut.
Selain itu, tradisi tamblang waluh itu juga tetap diawasi warga setempat yang sudah dewasa. Menurut Narta, pertarungan akan dihentikan ketika salah satu dari pemuda yang bertarung mengaku menyerah.
Untuk pemilihan lawan juga dipilih secara langsung oleh pemuda itu sendiri yang penting ukuran tubuh setara dan keduanya sama-sama berani untuk bertarung. Setelah itu keduanya baru saling bertarung satu lawan satu dengan menunjukkan kekuatan kaki yang dimiliki.
"Setelah hari mulai gelap, maka pertarungan akan diberhentikan dan seluruh pemuda akan membubarkan diri untuk kembali ke rumah masing-masing untuk melaksanakan tahapan hari raya Galungan selanjutnya," imbuhnya.
Narta menambahkan, tradisi tamblang waluh terdiri dari dua kata yaitu tamblang dan waluh. Tamblang adalah salah satu jenis bambu yang disimbolkan sebagai laki-laki sedangkan waluh adalah salah satu jenis buah labu merupakan simbol perempuan. Pertemuan laki-laki dengan perempuan inilah yang akan menimbulkan suatu proses kelahiran.
"Sehingga selama tradisi tersebut dilaksanakan para pemuda terus mengucapkan kata-kata jorok yang lebih menjurus ke alat kelamin," sambungnya.
Meskipun begitu, tradisi tamblang waluh tetap dilestarikan oleh masyarakat Desa Adat Bungaya. Menurut Narta, banyak warga yang sakit saat dahulu tradisi ini sempat tidak dilaksanakan. Itulah sebabnya, hingga kini tradisi tamblang waluh tetap digelar setiap menjelang hari raya Galungan.
---
Artikel ini telah tayang di detikBali.
Simak Video "Video: Penampakan Kebakaran Pabrik Air Minum di Karangasem Bali"
(sym/sym)