Di Sukabumi, ada sebuah batu besar berwarna hitam yang tidak bisa dipindahkan. Konon, ada ular besar tanpa kepala yang jadi penunggu batu itu.
Batu hitam itu bertengger di pertigaan Jalan Stadion, Kelurahan Dayeuhluhur, Kecamatan Warudoyong, Kota Sukabumi. Keberadaan batu hitam itu cukup menarik perhatian pengendara yang melintas.
Posisi batu tersebut berdekatan dengan gerbang Stadion Suryakencana. Jalan tersebut menjadi penghubung antara Jalan Pabuaran dengan wilayah Benteng.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jika dilihat dari letaknya, batu tersebut memiliki diameter kurang lebih satu meter dengan tinggi lebih dari 50 centimeter. Namun bentuknya tak beraturan dan jauh dengan penyerupaan monumen atau tugu pembatas jalan seperti pada umumnya.
Batu itu berada tepat di tengah-tengah perlintasan. Keberadaan batu tersebut ternyata diselimuti banyak cerita menyeramkan.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, batu berwarna hitam pekat ini sudah berada di tempatnya sejak puluhan tahun silam, jauh sebelum Stadion Suryakencana dibangun.
Saat dilakukan pembangunan stadion, batu itu sempat akan dipindahkan atau disingkirkan. Namun upaya itu tidak pernah berhasil, meski dengan bantuan alat berat sekalipun.
Ketua Yayasan Dapuran Kipahare Irman Firmansyah mulanya menceritakan, batu itu terbentuk dari proses geologi saat Gunung Gede memuntahkan lavanya hingga membentuk batuan andesit.
"Itu batu andesit kemungkinan dari lava vulkanik. Biasanya daerah lereng Kota Sukabumi itu sampai ke Gunungguruh, lemparan vilkanik dari Gunung Gede," kata Irman, Jumat (29/9) pekan lalu.
Irman tak mengetahui pasti sejak kapan batu tersebut ada di tengah perlintasan jalan. Namun jika merujuk pada peristiwa Gunung Gede meletus, maka usia batu tersebut diperkirakan sudah mencapai ribuan tahun.
"Kalau tahun berapa saya tidak bisa prediksi, bisa jadi sudah ribuan tahun. Karena itu kan proses geologi, di mana awalnya semburan lahar yang kemudian mendingin dan menjadi batu. Itu proses alam, cuma saya pikir bisa jadi ribuan tahun," ujarnya.
Seiring berjalannya waktu, muncul kebudayaan di masyarakat yang pada zaman megalitikum disebut dengan kepercayaan animisme. Yaitu kepercayaan yang menganggap bahwa batu memiliki roh yang harus dihormati.
Konon Dihuni Ular Besar Tanpa Kepala
Secara turun temurun mitos penunggu batu itu menyebar di masyarakat. Konon di sana terdapat mitos seekor penunggu yang menyerupai ular besar tanpa kepala.
"(Batu) di Suryakencana ada kisah ular besar tanpa kepala. Itu kan sebagai lambang kebahayaan, sehingga orang tidak akan berani memindahkan atau menghancurkan batu tersebut. Itu pola pelestarian karuhun zaman dahulu," ujarnya.
"Ada yang pernah cerita, pernah lihat, ada ular besar hitam tanpa kepala. Itu kisah rakyat yang mungkin belum tentu kebenarannya tapi diturunkan dari generasi ke generasi," sambungnya.
Selain cerita penunggu ular besar, batu itu menjadi penanda pembuka sebuah perkampungan baru. Dia menyebut, penanda itu disebut dengan ungkal biang, paku lembur atau batu induk.
"Proses di mana membuka satu lembur atau perkampungan dimulai dari babakan satu atau tiga rumah nambah jadi 10, 15, 30 rumah maka dibuka lah dengan paku bumi atau paku lembur. Bentuknya batu besar atau batu yang sulit dipindah," jelasnya.
Batu itu tak didiamkan sendiri. Di sekitarnya terdapat taman berbentuk segitiga yang mengelilingi batu hitam.
"Kemungkinan ketika dibangun jalan di sana, warga mengingatkan supaya itu jangan diganggu. Kalau misal batu saja di tengah aspal bahaya, maka dibuat taman sehingga lebih mencolok bahwa itu seolah-olah penanda batu yang eye catching," katanya.
"Itu bisa dilestarikan tidak perlu dihancurkan. Beberapa tempat kalau tidak dilakukan itu kan dihancurkan dan dijadikan pondasi rumah, kan sayang. Dilestarikan tapi tetap tidak membahayakan masyarakat," tutupnya.
------
Artikel ini telah naik di detikJabar.
(wsw/wsw)
Komentar Terbanyak
Bangunan yang Dirusak Massa di Sukabumi Itu Villa, Bukan Gereja
Brasil Ancam Seret Kasus Kematian Juliana ke Jalur Hukum
Hutan Amazon Brasil Diserbu Rating Bintang 1 oleh Netizen Indonesia