Jelajah Desa BRILian

Napak Tilas Makam Samparaja Daeng Malaja, Raja Pertama di Kerajaan Tiro

Sukma Nur Fitriana - detikTravel
Senin, 13 Nov 2023 10:05 WIB
Foto: detikcom/Pradita Utama
Bulukumba -

Belum banyak orang yang tahu kalau Desa Tritiro di Kabupaten Bulukumba menyimpan kisah sejarah yang menarik untuk diulik. Pasalnya desa ini menyimpan cerita dari raja pertama Kerajaan Tiro yaitu, Samparaja Daeng Malaja.

Cerita awal mula Samparaja Daeng Malaja mendirikan kerajaan juga pernah dituliskan oleh Syahriani dalam penelitiannya yang berjudul 'Kerajaan Tiro' dan dipublish pada Jurnal UIN Alauddin Makassar (2016). Ia menjelaskan, mulanya Sampara Daeng Malaja adalah seseorang yang datang berlayar dari daerah Luwu, Sulawesi Selatan.

Dari Luwu, Sampara Daeng Malaja berlayar menggunakan sebuah perahu dan menurunkan jangkarnya untuk berlabuh di sekitar tepian laut. Tepian laut tersebut berada di sekitar pantai yang kini dikenal dengan Pantai Sahapatu (Samboang).

Saat menginjakkan kaki di wilayah Pantai Sahapatu, Sampara Daeng Malaja merasa lokasi tersebut strategis untuk dirinya mendirikan sebuah kerajaan. Karena itulah, akhirnya ia memutuskan untuk membangun kerajaan yang diberi nama Tiro dan dikenal dengan Kerajaan Tiro.

Selama masa kepemimpinannya, Samparaja Daeng Malaja diberi gelar Karaeng Sahapatu (Raja Pertama Kerajaan Tiro) dan disebut sebagai sosok pemimpin yang tegas, juga keras pada rakyatnya.

Namun, walaupun begitu, setiap harinya ia ingin terus memantau aktivitas para rakyatnya baik di darat maupun di lautan. Maka ia pun memutuskan menjadikan sebuah puncak batuan karang di tepian laut sebagai tempatnya memantau rakyat dan menikmati keindahan alam yang ada di sekitar kerajaan.

Sampai suatu ketika, Sampara Daeng Malaja berpesan kepada rakyatnya, jika ia meninggal, maka ia mau dikuburkan di dalam lubang batu. Mendapatkan pesan dari rajanya tersebut, rakyatnya pun mau tidak mau menurutinya.

Mengulik Prospek Desa Tritiro Jadi Destinasi Wisata Halal Foto: detikcom/Pradita Utama

Cerita ini dibenarkan oleh Kepala Desa Tritiro, Saiful Amar. Saiful mengaku, sejak kecil ia sudah tidak asing dengan cerita mengenai makam Sampara Daeng Malaja tersebut.

"Kan dia dimakamkan di sana abad ke-15. Ia ini raja pertama, istilahnya karaeng. Raja Kerajaan Tiro. Kalau dalam sejarah, makam ini dia terpisah dari tanjung, tapi di batu seperti batu payung," kata Saiful kepada detikcom belum lama ini.

Saiful melanjutkan proses penggalian makam di atas batu sulit untuk dilakukan. Hingga pada akhirnya, orang-orang China yang konon katanya suka berlalu-lalang melintasi kerajaan ini untuk berdagang, memberi tahu rakyat Kerajaan Tiro untuk menyiramkan air laut ke batu tersebut agar mudah digali.

"Orang China yang memberikan saran untuk memudahkan penggalian, maka disiram air laut. Sehingga batu yang tadinya keras, dengan disiram air laut kemudian dibakar dia jadi lunak," terang Saiful.

Perihal masalah kepimpinan, Saiful juga mengatakan Sampara Daeng Malaja disebut juga sebagai raja yang pemberani dengan lawan-lawannya. Konon katanya dia pernah diadu di satu wilayah kerajaan dan disegani karena punya kekuatan supranatural.

Selain itu, di tebingan batu karang tak jauh dari Makam Sampara Daeng Malaja juga terdapat tulang belulang dari 3 penjaga atau pengawal raja. Namun sayangnya alasan mengapa pengawal raja bisa meninggal dan menjadi tulang belulang di sana tidak diketahui secara pasti.

Saiful menambahkan saat ini pihaknya sedang berupaya menjadikan makam Sampara Daeng Malaja sebagai salah satu tempat wisata religi. Prosesnya sudah dalam pengajuan ke Dinas Pariwisata setempat.

"Kita sudah melakukan perawatan. Tapi kita merasa harus hati-hati memperbaikinya. Karena itu dikeramatkan, jadi nggak bisa sembarangan perawatannya," papar Saiful.

Mengulik Prospek Desa Tritiro Jadi Destinasi Wisata Halal Foto: detikcom/Pradita Utama

Saiful juga mengaku hal ini dilakukan karena dirinya ingin makam raja pertama Kerajaan Tiro ini tidak kehilangan makna dan nilai historisnya. Selain itu, ia tidak ingin makam ini dijadikan tempat yang disalah artikan seperti untuk meminta sesuatu.

"Masyarakat sering ke sana. Ada yang mendoakan, dan ada yang sekadar berziarah. Tapi ada juga yang sebagian masih memiliki 'kepercayaan'. Dulu di tahun 80-an, masih banyak kepercayaan animisme. Sekarang, ajaran agama banyak masuk. Kita berikan pendidikan agama, jangan disalahartikan (ziarah) ke sana karena ingin meminta sesuatu. Meminta itu kepada Allah SWT," jelas Saiful.

Adapun banyak peziarah yang datang biasanya berasal dari Bugis, Sinjai, dan juga Bone. Menurut Saiful para peziarah tersebut datang karena tidak terlepas dari kemungkinan adanya hubungan nenek moyang atau kekerabatan secara turun-temurun.

Diketahui di makam Sampara Daeng Malaja juga terdapat sebuah guci yang dalam waktu tertentu akan pecah sendiri dan bakal utuh dengan sendirinya lagi. Namun sayangnya, sekarang guci tersebut sudah hilang.

"Kalau ambil barang-barang di sana juga jangan sembarangan. Nanti barang yang diambil balik lagi ke sana. Jangan juga sembarangan buang air," pesan Saiful.

Akses Menuju Makam Sampara Daeng Malaja

Untuk datang berziarah dan melihat langsung makam Sampara Daeng Malaja, ada dua cara yang bisa ditempuh. Pertama adalah bisa berjalan kaki ketika air laut sedang surut atau naik sampan jika air laut sedang naik.

Jika memilih untuk berjalan kaki, maka persiapkan diri untuk berjalan sekitar lebih dari 1,5 Km dari bibir pantai. Atau jika air laut sedang naik, maka waktu yang diperlukan cukup 20 menit saja menggunakan perahu.

"Ini surut, 6 jam (kemudian air) naik lagi. Hanya kadang waktunya bergeser setiap 6 jam. Kadang pagi, kadang malam surut. Kalau naik sampan lebih cepat, sekitar 20 menit. Apalagi kalau naik perahu mesin," terang Saiful.

Selama perjalanan menuju makam, baik berjalan kaki maupun naik sampan, air laut yang jernih dengan biota di bawah laut siap memanjakan mata dan memberikan kesenangan tersendiri. Apalagi jika berjalan kaki, pengunjung bisa merasakan berjalan di pasir putih yang halus dan melihat lebih dekat seperti ikan-ikan kecil berenang, atau para kepiting berlarian memasuki lubang di pasir.

Mengulik Prospek Desa Tritiro Jadi Destinasi Wisata Halal Foto: detikcom/Pradita Utama

Sebelum melakukan perjalanan dari Pantai Sahapatu ke makam Sampara Daeng Malaja, pengunjung juga harus berkendara terlebih dahulu, kurang lebih 1,5 KM dari Balai Desa Tritiro. Setelah itu, jika air laut sedang pasang, maka mau tidak mau harus menyewa sampan seharga Rp 50 ribu untuk perjalanan bolak-balik dari Pantai Sahapatu - Makam Sampara Daeng Malaja.

Jika lelah setelah melakukan perjalanan, pengunjung juga bisa bermalam di homestay yang ada di bibir Pantai Sahapatu. Bak punya pantai pribadi, para pengunjung bisa beristirahat dengan nyaman sembari menikmati deburan ombak secara langsung yang menenangkan.

Untuk diketahui, detikcom bersama BRI tengah mengadakan program Jelajah Desa BRILian yang mengulas potensi dan inovasi desa di Indonesia baik dari segi perkembangan ekonomi, infrastruktur, hingga wisata serta dampaknya terhadap masyarakat lokal maupun nasional. Untuk mengetahui informasi program Desa BRILian lebih lanjut, ikuti terus informasinya hanya di jelajahdesabrilian.detik.com!




(ega/ega)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork