Menapaki Jejak Maha Dahsyat Letusan Tambora
Minggu, 27 Jan 2019 09:30 WIB

Darusman Tohir
Jakarta - Tambora, raksasa itu dulu begitu megah, besar dan mematikan. Ia bertanggungjawab atas satu tahun tanpa musim panas di Eropa dan Amerika Utara. Biang lenyapnya peradaban kerajaan Tambora, Sanggar dan Pekat. Serta Berkontribusi besar atas hilangnya 40.000 nyawa manusia.Rabu 9 Mei 2018Saya tak percaya! Bak habis disekap dalam gudang penyimpanan, semilir angin Bandara Sultan Muhammad Salahuddin, Bima Nusa Tenggara Barat begitu melegakan. Setelah hampir satu jam berada di salah satu maskapai lokal yang begitu pengap dan panas. Para penumpang keluar satu persatu dengan raut kusam dan sesekali mengoceh tidak karuan."Mbak AC-nya tadi mati ya?" celetuk seorang pria 30 tahunan dengan jenggot dan jambang tebal yang kelihatannya sudah tak sabar ingin tahu apa yang terjadi. Saya langsung menoleh karena penasaran pula. Sedangkan sang pramugari hanya menimpalinya dengan permohonan maaf.Keringat saya masih belum kering sampai di tempat pengambilan bagasi. Menunggu tas carrier melintas, saya ngobrol-ngobrol di pojokan dengan bahasan yang belum berubah. Ya, tentang pesawat yang kami tumpangi tadi.SELAMAT DATANG DI PULAU SUMBAWA"Gimana Sumbawa?" Ya beginilah teriknya pulau ini, kalau kata orang mataharinya lebih dari satu,ujar Bang Wawan, driver yang akan menemani saya dan tim melintasi jalanan mulus nan berdebu di pulau yang terkenal dengan susu kuda liarnya. Konon katanya di sini matahari tak kenal musim, meskipun sering diguyur hujan juga, namun teriknya matahari sangatlah membakar kulit.Tambora, raksasa itu dulu begitu megah, besar dan mematikan. Ia bertanggungjawab atas satu tahun tanpa musim panas di Eropa dan Amerika Utara. Biang lenyapnya peradaban Kerajaan Tambora, Sanggar dan Pekat. Berkontribusi besar atas hilangnya 40.000 nyawa manusia. Bahkan, ada peneliti yang bilang, Tambora patut disalahkan atas kekalahan Napoleon Bonaporte dalam perang di Waterloo, karena cuaca ekstrim hasil letusan pada Juni 1815. Kini ia masih berdiri gagah diantara Kabupaten Bima dan Dompu, tertidur lelap, berharap tak bangun dan memuntahkan isi perutnya lagi pada peradaban baru yang menggantikan Tambora, Sanggar dan Pekat.Hampir enam jam sudah mobil MPV ini membawa saya menuju Desa Pancasila, dimana titik awal pendakian ini akan dimulai, dimana napak tilas kedahsyatan erupsi itu masih terasa, dimana bulir-bulir debu debu mengoyak hembusan-hembusan nafas tiap insan yang merayap di punggungnya. Kami duduk berhimpitan tiga orang dalam satu baris. Bersandar pada kursi yang empuk selama berjam-jam tak sepenuhnya nyaman, mengingat kendaraan ini juga dijejali barang-barang bawaan kami. Sesekali saya berdiri tegak untuk sekedar meluruskan punggung.Desa PancasilaBRAK! Kami terguncang-guncang, kepala saya terbentur jendela kanan mobil kemudian ke atas dan kedepan tak berirama. Saya yang sudah terlelap di awang-awang, sontak terbangun. Aspal yang mulus kini berubah menjadi kerikil lepas, sesekali batu-batu sedang dan besar. Tanpa ampun,ban mobil terus melindas batu jalanan membawa kami berjalan menyelinap dalam kegelapan.Dari sini perjalanan sudah tidak terlalu jauh, Desa Pancasila sudah di depan mata. Saya yang penasaran, membuka jendela dan melongok ke segala arah mencari wujud Tambora yang megah dalam balutan malam. Bukan tambora yang saya dapat, malah segerombol pemuda yang asik nongkrong di pinggir hutan sambil sibuk dengan handphonnya masing-masing."Mereka sedang cari Sinyal, batasnya sinyal GSM cuma sampe sini, di atas sudah gak dapet lagi", ujar bang Wawan menjelaskan.Pukul 20:20 Saya sudah duduk-duduk santai di serambi basecamp Desa Pancasila, tepat di depan saya ada sebuah lapangan yang cukup luas, mirip lapangan sepak bola. Mungkin biasa digunakan warga untuk acara-acara penting. Basecamp ini cukup besar untuk menampung banyak kelompok pendaki. Namun tidak banyak kelompok yang datang malam itu.Bangunan utama basecamp ini merupakan rumah Pak Syaiful yang diberi kepercayaan menjaga setiap lalu lintas pendakian lewat jalur Pancasila. Sedangkan bangunan-bangunan berbentuk panggung mirip bungalow di sisi kirinya biasa digunakan para pendaki untuk beristirahat. Sangat nyaman, karena disediakan Kasur di dalamnyaIngin rasanya langsung tidur saja setelah seharian penuh berjibaku dengan perjalanan panjang. Di sela-sela obrolan, Senyum hangat pak Syaiful tersimpul sambil menyodorkan kopi dan pisang goreng yang dimasak sendiri oleh isterinya.Selain kelompok saya, ada kelompok Bapak-bapak yang keliatan sangat bugar meskipun sudah berumur. Bervariatif, saya taksir sekitar 40 Γ’β¬β 50 tahunan.Dari obrolannya, sepertinya mereka kelompok pengusaha yang rutin melakukan kegiatan outdoor setiap tahun. Malam itu diisi oleh candaan mirip di Whtasapp grup Bapak-bapak. Saya sesekali tertawa mengimbangi yang lain, meskipun belum menemukan dimana bagian terlucunya. Hingga akhirnya malam yang dingin membawa saya terlelap kembali menuju negeri antah berantah.Kamis, 10 Mei 2018Gila! Baru kali ini saya dibonceng di sepeda motor dengan driver sebrutal ini!. Saya menggenggam erat-erat besi pegangan di belakang jok, berharap tak terjadi apa-apa. Jangan bayangkan motor Tril, Sepeda motor yang digunakan hanyalah motor bebek atau motor kopling biasa yang sedikit di modifikasi sana sini agar dapat melintas di tengah hutan yang menanjak. Bentuknya lebih mrip sepeda motor yang belum selesai dirakit.Jalan licin, berkelok-kelok dan sempit yang lebih mirip jalur air memompa adrenalin saya. Badan saya melonjak naik turun di atas jok sepeda motor. Sesekali kaki si driver menapak ke tanah untuk menyeimbangkan motornya yang mulai oleng. Namun tumpukan tanah sudah memenumi ban sepeda motor. Iring-iringan ini terasa bagai balapan motor tril di kampung-kampung. Kami memutuskan untuk menghemat waktu dan tenaga dengan menyewa ojek Gunung sampai ke titik akhir dimana kendaraan tidak dapat lewat lagi.Alunan tembang 'jaran goyang' menemani pendakian yang sudah berjalan sekitar 2 jam. Jalur tak begitu terjal, namun terasa begitu jauh. Sesekali saya dapat berlari di jalur pendakian ini. Tumbuhan didominasi pohon-pohon tinggi yang agak terbuka. Tim ini masih berjalan dalam satu rombongan utuh dengan formasi Inggar, Zahra, Saya, Hanin dan Taufik. Sedangkan dua porter yang kami sewa ada di depan dan di belakang. Obrolan santai tentang kantor, bos, musik, dan segala hal tumpah bercampur tak karuan hingga kami sampai di pos 2.Pos 2'Gunung bukan tempat sampah' kalimat itu tiba-tiba terlintas di fikiran saya. Membayangkan Tambora begitu berbeda dari bayangan saya. Ia begitu gagah dan asri. Menyimpan sejuta misteri dalam balutan kabutnya. Ia masih begitu bersih, meninggalkan kesan dalam beberapa jam saya mengenalnya.Ayo Makan! Makan bareng kita sini Teriakan rombongan bapak-bapak pengusaha mengagetkanku. Rupanya mereka sudah sampai duluan dan sempat masak di pos ini. Bukan kaleng-kaleng! Mereka masak rawon di Gunung! Saya malu kepada diri sendiri yang umurnya jauh lebih muda, melirik sayu pada logistik serba instan yang kami bawa dari bawah.Kami terkecoh oleh sungai kecil yang mengalir deras di Pos 2. Kami lalai, boros dengan minum sesuka hati. Kini botol-botol itu melompong kosong terselip di kanan-kiri tas kami, tinggal beberapa teguk. Perjalanan menuju Pos 3 begitu jauh, terasa jauh sekali.Berbagai macam tembang yang diputar dalam speaker mini mengalun, mencoba bangkitkan kembali saya yang mulai dirundung keputusasaan. Melawan Langkah yang semakin gontai, jalan beberapa langkah kemudian beristirahat begitu berulang-ulang. VegetasiΓ begitu rapat, banyak pohon-pohon besar tumbang. Untungnya kondisi ini berpihak kepada kami dengan melindungi terjangan matahari langsung yang dapat semakin menghambat pendakian.Tidak ada yang lebih buruk daripada terjebak dalm keputusasaan. Bahkan, sekelas Bill Gates pun pernah mengalaminya. Bayangkan jika Ia tidak bangkit dari kegagalan. Mungkin saat ini kita masih membawa sempoa kemana-mana, atau menenteng mesin tik sambil minum kopi di caffe.Salah seorang porter kami menyingkir agak jauh di sela-sela istirahat, sebut saja Bang Mamat. Sejurus kemudian ia membakar lintingan yang sudah ia siapkan dari rumahnya. aromanya menyeruak di sela-sela obrolan kami. Sambil rebahan di batang kayu tumbang yang cukup besar, Ia begitu menghayati tiap hisapannya.Pos 3Setelah terseok-seok, kami sampai di Pos 3. Terdapat sebuah pondokan kayu yang berdiri disini, lokasinya cukup lapang untuk menampung sekitar 15 tenda. Namun target kami mengakhiri pendakian hari ini di Pos 5 sebelum gelap. Sementara itu Jam sudah menunjukkan pukul 14:30. Sambil terengah saya langsung bersandar di salah satu sudut pohon, meregangkan otot-otot kaki yang sedari tadi dipaksa untuk terus berjalan, sambil menikmati semilir angin yang mulai terasa dingin.Sementara itu Bang amat mengumpulkan botol-botol kami untuk kemudian turun menuju sumber mata air. Menurutnya sumber mata air terakhir ada di pos 3, karena di Pos 5 hanya terdapat genangan air yang tidak layak minum.Jika sebelumnya harus melawan keputusasaan di jalur yang tak berujung, musuh selanjutnya adalah jelatang. Tanaman yang dapat tumbuh hingga 1 meter. Daunnya beracun, hidupnya bergerombol. Jika terkena kulit akan terasa perih seperti terbakar, merah, kemudian muncul betol-bentol dan akhirnya membengkak. Disini Jelatang jadi momok para pendaki, karena kadang keberadaannya tak terdeteksi sampai sapuan dahsyatnya menyentuh kulit.Kini saya telah siap mengahadapi para jelatang itu! Pakaian serba panjang menggantikan celana dan baju pendek yang tadi saya kenakan dari bawah. Tak lupa aksesori buff di kepala. Selain supaya terlihat modis, buff juga punya segudang fungsi dan kegunaan.Saya spontan berteriak karena ada yang tak beres dengan jari-jari saya. Baru 10 menit meninggalkan pos 3, Saya sudah dibuat repot oleh tanaman ini. Jelatang-jelatang itu berhasil menyelinap di salah satu jari saya. Sensainya tidak main-main, butuh sekitar 15 menit untuk meredakan rasa terbakar akibat racun yang ada di daunnya. tanpa sadar kami sudah berada di jalur penuh jelatang.Sementara jalanan terus menanjak semakin terjal, pepohonan sesekali mulai terbuka menuju pos 4, tak jarang pula kami berjalan jongkok, melompat atau merangkak.Pos 4Bukan karna penuh jelatang, saya merasa Pos 4 terasa begitu horror. Entahlah, mungkin karena kombinasi pohon-pohon besar yang saat itu bergoyang kesana kemari perlahan tertiup angin, sayup-sayup suara oaΓ’β¬β’ dari kejauhan, ditambah matahari yang sudah tak terlalu terik. Suasananya begitu gelap nan muram.Beberapa kali saya berteriak bersahutan berharap ada balasan. Namun hanya dijawab oleh suara gesekan ranting pohon dihembus angin. Sepertinya Kami rombongan terakhir di jalur ini. Tak banyak yang dilakukan di Pos 4, sumber airpun tidak ada. Kami hanya beristirahat sebentar sekitar 15 menit, kemudian melanjutkan bagian akhir perjalanan hari ini. Tak lama kabut turun, menandakan kami harus segera beranjak menuju Pos terakhir. Entah kenapa ada perasaan legadalam diri saya ketika kami meninggalkan tempat itu.Kabut selalu mengandung misteri, datang tiba-tiba hilang pun tanpa rencana.Jadi teringat satu kabut yang spesial. Ia selalu datang setiap tahun. Ketika datang, orang-orang menyambutnya dengan masker-masker di wajah. Banyak media yang memberitakannya. Ia merambah ke sudut-sudut jalanan. Membuat orang-orang kesulitan bernafas, sampai terserang berbagai penyakit. Membuat riuh kota disekitarnya karena jalanan jadi tak aman, jarak pandang makin berkurang. Ia didaulat jadi bencana tahunan ketika musim kemarau tiba.Butiran debu berterbangan masuk ke sela-sela buff yang sejak tadi sudah terpasang menutupi wajah. Jalur mulai berubah, Pohon-pohon tinggi yang tadi mendominasi dari titik awal pendakian kini berkurang. Jenisnya pun berbeda, lebih banyak pohon pinus deselingi tanaman-tanaman perdu lainnya. Kini, Saya mencoba berkawan dengan alang-alang dan hempasan debu dari tiap jejakkan kaki kami di jalur yang menanjak semakin terjal.Pos 5Semburat cahaya kuning keemasan mengintip dari sela-sela dedaunan. Kini Saya dapat melangkah lebih leluasa, beberapa menit menuju Pos 5, jalur semakin bersahabat. Ia menjadi lebih landai, pijakan terasa lebih keras. Dari sebelah kanan Terpampang nyata wajah raksasa itu. Raksasa yang pernah menyebabkan kepanikan di berbagai belahan dunia. Guratan-guratan bukitnya begitu jelas dan tegas, disinari cahaya keemasan yang semakin lama semakin redup berganti warna menjad jingga kemerahan. Jadi ingatΓ cerita Frankenstein yang konon lahir karena langit gelap akibat letusannya.Cahaya keemasan itu berubah menjadi jingga kemerahan. Perlahan kemudian sirna berganti dengan kegelapan dan suara-suara malam yang menemani kami dalam balutan dinginnya udara di pos 5. Kerlap-kerlip taburan bintangΓΒ begitu jelas terlihat, orang bilang itu milkyway. Obrolan dari rombongan bapak-bapak sebelah terdengar sayup-sayup dari sini.Sambil menikmati minasarua yang baru dihangatkan, kami mengisi malam dengan sekedar ngobrol atau bermain ludo. Udara dingin yang semakin menusuk memaksa saya agar segera menarik sleeping bag dan bersiap menutup hari. Hingga nyanyian alam yang begitu syahdu sukses meninabobokkan Saya di pundak tambora yang telah lebih dulu terlelap sejak dua abad yang lalu.Jumat, 11 Mei 2018Break! Dalam kegelapan kami meraba-raba mencari bidang datar untuk sekedar bertumpu, atau duduk menghela nafas sejenak. Diatas sana terpampang indah persembahan dari langit, taburan bintang yang jauh lebih indah dari kerlap-kerlip lampu kota dibawah sana. Sementara itu senter para pendaki yang sudah dulu naik ke atas terlihat bagaikan titik-titik kecil membentuk jalur.Jam tangan masih menunjukkan pukul 04:00 dini hari, Namun keringat sudah mengalir deras membasahi leher lewat sela-sela telinga. Menutupi hawa dingin yang tadi begitu menusuk tulang. Jaket tebal yang saya pakai, mulai terasa pengap. Namun saya tak lantas membukanya, sekali lagi angin gunung telah bersiap di luar sana, menunggu untuk masuk menggerayangi tiap jengkal kulit dan membuat begidik sendi-sendi saya.Entah sudah berapa kali kalimat yang sama kami dengar. Mungkin Ia hanya basa-basi melihat kami yang sudah mulai putus asa. Wajah-wajah kami begitu lelah dihajar jalur berpasir ini. Beberapa kali saya merosot karena pijakan yang begitu rapuh.Batas vegetasi sudah dilewati, tidak ada lagi pepohonan, hanya beberapa tanaman setinggi lutut yang bisa dihitung, sisanya lautan pasir dan bebatuan kecil. Jalan terjal menanjak 45 derajat. Tidak! Perjalanan dini hari ini tidak semulus perjalanan menuju Pos 2, pijakannya tidak sekeras saat menuju pos 5. Tidak ada Jelatang. Air pun masih melimpah dalam botol yang saya masukkan di tas kecil.Diiringi gumpalan debu yang menyelinap di sela-sela kacamata dan memenuhi kerongkongan, saya terbatuk-batuk. Debu, debu dan debu. Ia berterbangan kesana kemari dibawa angin Gunung. Jaket biru yang saya gunakan mulai tak jelas warnanya. Sementara itu secercah cahaya mulai Nampak. Terpancar dari balik dinding terjal yang sedang ditapaki.Saya semakin mempercepat langkah, bagai dikejar sesuatu. Target hari ini adalah sampai di kaldera sebelum matahari muncul. Namun sepertinya sudah terlambat. Langit sudah keburu terang, semburat warnaΓ kuning di ufuk timur yang begitu cantik menandakan surya, sang penanda pagi telah muncul. Sementara scenery sekeliling muai terlihat, begitu memanjakan mata!.Saya mengaku kalah, kalah dengan waktu. Benar, waktu memang tidak dapat dilawan, maka bersahabatlah dengannya, jangan menyia-nyiakan waktu. Inilah konsekuensi karena kami bangun terlambat. Saya terduduk menyeka keringat sambil mengatur ritme, kemudian beranjak melanjutkan sisa-sia pendakian yang hampir selesai.Kaldera dan PuncakSaya berdiri terdiam, menghirup udara dalam-dalam.Saya berteriak menghempaskannya dengan keras ke muka akwah, tentu saja tak berarti apa-apa di depan kaldera yang terbentang sangat luas saat itu. Entah berapa hektar luasnya. Yang pasti ia menjadi bukti mahadahsyatnya letusan tahun 1815.Dulu tinggi gunung ini diperkirakan mencapai 4000 meter diatas permukaan laut, kemudian separuh tubuhnya hancur, menyisakan kaldera yang menganga. Sejauh mata memandang terlihat membentuk garis horizon di sebrang sana. Seolah-olah memberi batas antara langit dan badan Gunung. sementara itu, Langit sudah begitu terang, namun sebagian tubuh matahari masih terhalang batas dari mulut kaldera di sisi timur.Tanaman edelweis yang begitu cantik nampak tumbuh di dinding-dinding kaldera. Mereka menggantung di tempat-tempat yang tak terjangkau, sesekali saya temukan pula yang tumbuh di pinggiran. Tertarik, saya menodongkan kamera ke tumbuhan cantik ini dan mengambil beberapa gambar. Otomatis saya harus melongo dan memandang ke dalam kawah.Sontak tubuh ini begidik, ngeri sekaligus takjub. Apa jadinya kalau sampai terjatuh ke dasar kaldera yang dalamnya hingga ratusan meter?! Yang pasti tidak akan selamat, belum lagi tubuh yang mungkin sudah tidak karuan saat ditemukan karena terbentur dinding tajam kaldera, atau terkena gas beracun dibawah sana.perlahan saya berjalan menyisir kaldera. Mengikuti jalur yang memabawa saya menuju puncak Gunung ini. Masih sekitar 40 menit dari tempat saya berdiri. Terlihat bendera merah putih berkibar-kibar di atas gundukan bukit di sisi sebelah kanan. Ya, itulah puncak tambora.Beberapa langkah lagi! mungkin sekitar 15 langkah saya akan berada pada titik tertinggi di pulau sumbawa.Perjuangan ini terbayar sudah. Saya berdiri di samping bendera merah putih yang berkibar pada ketinggian 2.852 meter diatas permukaan laut. Diantara hembusan angin yang tak terhalang apapun. Saya mengusap-usap mata, ini bukan lagi video youtube tentang ekspedisi kaldera tambora yang beberapa hari lalu masih saya tonton di sela-sela pekerjaan kantor.Kaldera itu terlihat begitu megah dari sini. Terpampang jelas betapa lebarnya ia. Dasar kawah yang tadi masih Dijejali kabut kini tersibak sudah. Sementara dibelakang sana hamparan laut biru tak terbatas mata memandang. Saya memandang kearah kaldera yang lebih dari dua abad tertidur pulas dengan tatapan tajam, berharap ia tak bangun dan meluluh lantakan peradaban yang tumbuh di kakinya.Saya merasa sangat bersyukur, berterimakasih kepada Allah SWT. Melalui ciptaannya ini saya belajar banyak arti kesabaran dalam perjalanan kali ini. Kemudian saya memalingkan wajah ke arah barat sambil menatap tujuan berikutanya nun jauh disana, yaitu rumah!
Komentar Terbanyak
Bangunan yang Dirusak Massa di Sukabumi Itu Villa, Bukan Gereja
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Brasil Ancam Seret Kasus Kematian Juliana ke Jalur Hukum