Mengapa Orang Jepang Suka Menjomblo?

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Mengapa Orang Jepang Suka Menjomblo?

Putu Intan Raka Cinti - detikTravel
Minggu, 09 Feb 2020 07:47 WIB
Jomblo di Jepang Makin Populer, Ini Penjelasannya
Generasi muda Jepang suka melakukan kegiatan sendiri. Tren ini disebut ohitorisama (Foto: BBC)
Jakarta -

Jomblo itu bukan nasib tapi pilihan. Budaya menjomblo kian populer di Jepang dan melambangkan kebebasan hidup masyarakat di sana.

Sebagai salah satu negara maju di kawasan Asia, Jepang selalu menjadi sorotan akan kemajuan industri, ekonomi, serta pesona wisatanya. Selain itu, topik mengenai Jepang juga tak pernah habis diperbincangkan, termasuk tren jadi jomblowan yang semakin populer dilakukan generasi muda di sana.

Dilansir detikTravel dari BBC, Jumat (7/2/2020) sepuluh tahun yang lalu banyak orang Jepang yang masih merasa malu bila terlihat makan sendirian di kantin sekolah atau kantor. Terlihat sendiri dan tak punya teman adalah hal yang sangat mereka hindari. Oleh sebab itu, demi tak terlihat kesepian, mereka sampai memilih makan di toilet. Kebiasaan ini disebut benjo meshi (makan siang toilet).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun, saat ini, kebiasaan itu mulai berubah. Banyak orang yang justru menikmati kesendiriannya, seperti yang diungkapkan seorang bartender di Tokyo, Miki Tateishi. Tateishi bekerja di Bar Hitori, sebuah bar yang terletak di Shinjuku yang ditujukan khusus untuk peminum solo.

Bar yang dibuka pada pertengahan 2018 lalu itu memanfaatkan budaya yang sekarang tengah naik daun di Jepang yaitu minum sendirian. Nama Hitori yang artinya satu orang, juga dipilih untuk memperjelas segmen pasar yang mereka bidik.

ADVERTISEMENT

Dengan adanya bar ini, orang justru makin percaya diri untuk menunjukkan dirinya yang jomblo alih-alih berdiam di toilet seperti zaman dulu.

"Beberapa orang ingin menikmati kesendiriannya, yang lain ingin membentuk komunitas baru," kata Tateishi.

Ia percaya, bar yang punya kebijakan seperti ini akan laku karena membuka peluang orang-orang untuk memulai percakapan di lingkungan yang santai. Minuman keras di bar itu juga membantu mereka mencairkan suasana.

Sementara itu, salah satu pelanggan Bar Hitori, Kai Sugiyama (29) berpendapat mengenai bar tersebut, "ku pikir ini langka".

"Saya merasa, orang Jepang selalu menjalani kehidupannya dalam kelompok, jadi orang-orang melakukan sesuatu bersama orang lain. Kami tak punya budaya untuk melakukan sesuatu sendirian," kata Sugiyama yang merupakan pegawai sebuah perusahaan manufaktur itu.

Bar Hitori merupakan contoh perubahan bisnis yang mengakomodasi orang-orang yang ingin untuk melakukan sesuatu sendirian. Mulai dari tempat makan sampai travel, berbagai bisnis ini bermunculan di Jepang. Tujuannya untuk mendorong individu makin terbuka akan kesendiriannya.

Gerakan para jomblo ini disebut ohitorisama yaitu orang-orang yang dengan berani memilih untuk melakukan sesuatu sendiri tanpa peduli pendapat orang lain. Ohitorisama juga kian populer dengan merujuk pada hashtag di Instagram.

Melalui hashtag itu terlihat berbagai foto restoran yang menyediakan fasilitas untuk makan sendirian, nonton bioskop sendirian, berkemah sampai naik transportasi yang memperlihatkan menyenangkannya menjadi solo traveler. Setidaknya selama 18 bulan terakhir terlihat semakin banyak orang yang mendeklarasikan kecintaannya akan gerakan itu, baik melalui pemberitaan maupun media sosial.

Ruang karaoke untuk pelanggan yang ingin bernyanyi solo.Ruang karaoke untuk pelanggan yang ingin bernyanyi solo. (Foto: BBC)

Salah satu inovasi yang memperlihatkan gerakan ohitorisama ini adalah kemunculan hitori yakiniku atau memanggang daging sendirian. Nah, acara bakar-bakar daging yang biasanya dilakukan bersama orang banyak itu sekarang juga bisa dilakukan sendirian. Beberapa restoran telah menyediakan pemanggang dan tempat duduk khusus untuk satu orang pelanggan.

Uniknya lagi, di Jepang juga bermunculan ruang karaoke untuk satu orang pelanggan. Padahal karaoke selama ini dikenal sebagai tempat menyanyi bersama dan kumpul-kumpul.

"Permintaan untuk karaoke sendirian itu meningkat sekitar 30 sampai 40 persen dari keseluruhan pelanggan," kata Manajer Pemasaran Perusahaan Karaoke Jepang 1Kara, Daiki Yamatani.

Salah satu pelanggan di 1Kara, Go Yamaguchi mengatakan lebih asyik karaoke-an sendiri karena ia tak perlu menunggu giliran seperti ketika ia karaoke bersama orang lain.

"Itu memalukan bila saya tidak bisa bernyanyi dengan baik," katanya. "Saya bisa bernyanyi semau saya ketika saya sendirian."

Dengan peningkatan permintaan tersebut, 1Kara akhirnya mengganti ruangan karaoke yang luas menjadi beberapa studio karaoke seukuran booth telepon untuk pelanggan karaoke yang ingin menyanyi solo.

Namun kebebasan menjadi jomblo ini rupanya belum sepenuhnya diterima di Jepang yang masih menjunjung kebersamaan dengan hidup secara berkelompok. Lebih lanjut, orang Jepang juga perlu hidup bersama karena ketersediaan lahan yang minim di sana.

Jepang merupakan negara kepulauan yang menampung 125 juta penduduk namun sekitar 4/5 wilayah Jepang merupakan daerah pegunungan yang sulit dijadikan pemukiman. Oleh karena itu agar dapat menampung seluruh penduduk, orang Jepang perlu hidup bersama.

"Jepang adalah negara kecil, dan semua orang butuh untuk hidup bersama," kata Konsultan Senior Nomura Research Institute Tokyo, Matoko Matsushita.

Matsushita yang mempelajari mengenai ohitorisama itu juga mengatakan,"kita perlu fokus untuk hidup bersama dalam harmoni, itulah mengapa tekanan kelompok untuk hidup bersama menjadi tinggi."

Matsushita juga menjelaskan dorongan untuk hidup bersama ini juga sejalan dengan meningkatnya penggunaan media sosial, dimana orang biasanya akan melihat eksistensi dari jumlah pengikut dan jumlah orang yang menyukai postingan, membuat orang merasa tertekan dan terstigma negatif ketika sedang sendirian.

Kembali sejenak ke budaya makan di toilet, seorang sosiolog bernama Daisuke Tsuji dari Osaka University yang membuat istilah tersebut pada 2008 lalu, menemukan fakta bahwa orang yang makan di toilet itu sebenarnya tak masalah bila makan sendirian tetapi tidak ingin lingkungannya menganggap mereka tidak punya kawan untuk makan bersama.

Akan tetapi, Matsushita percaya, anggapan ini sedang berubah. Ia mengatakan, tekanan sosial negatif mengenai jomblo telah berkurang.

"Tekanan sosial seperti: kamu harus menikah, kamu harus punya anak, itu telah berkurang,"kata Matsushita.

Orang Jepang pada dasarnya memang suka hidup mandiri.Orang Jepang pada dasarnya memang suka hidup mandiri. (Foto: BBC)

Ia mengutip sebuah survei pada 10 ribu orang sejak 2015 sampai 2018 yang memperlihatkan dukungan terhadap independensi serta fleksibilitas keluarga. Misalnya, lebih sedikit orang yang merasa harus menikah dan punya anak, sementara itu lebih banyak yang merasa tidak apa-apa untuk bercerai meskipun punya anak. Di antara pasangan menikah, lebih banyak orang merasa aman menyimpan rahasia dari pasangan mereka.

Tak hanya itu, menurut peneliti dari perusahaan periklanan Hakuhudo, Kazuhisa Arakawa sebenarnya masyarakat Jepang memang punya kecenderungan untuk hidup sendiri.

"Akan salah untuk mengasumsikan ada dua jenis orang: mereka yang setuju tinggal sendirian dan mereka yang tidak," katanya. "Mayoritas orang Jepang secara inheren suka bertindak secara mandiri."

Ia menemukan bahwa 50 persen dari mereka yang menghadiri konser atau festival musik melakukannya sendiri lalu akan terhubung dengan orang-orang baru di sana melalui minat yang sama.

Di balik kebebasan dan perayaan jadi jomblo, tren ini berimplikasi pada penurunan angka kelahiran di Jepang. Tahun 2019 lalu, hanya sekitar 864 ribu bayi yang lahir. Angka ini merupakan yang terendah sejak 1899.

Sementara itu, berdasarkan data sensus, rumah tangga yang terdiri dari satu orang justru meningkat dari 25 persen di tahun 1995 menjadi lebih dari 35 persen di tahun 2015. Hal ini dipicu oleh penurunan angka pernikahan yang menyebabkan banyak orang tinggal sendiri. Selain itu, di Jepang juga banyak lansia yang hidup menduda dan menjanda.

Budaya menjomblo ini diprediksi tidak hanya eksis di Jepang tetapi juga negara-negara lainnya. Hal ini terlihat dari penurunan angka kelahiran dan usia orang menikah yang semakin tua. Salah satu perusahaan riset pasar Euromonitor Internasional tahun lalu merilis sebuah studi yang menujukkan rekor pertumbuhan 128 persen pada rumah tangga yang terdiri atas satu orang di seluruh dunia antara tahun 2000-2030.

Jadi, di masa depan bisa saja kaum jomblo bukan lagi menjadi kaum minoritas yang malu-malu melainkan mayoritas yang membawa idealismenya sendiri.




(pin/fem)

Hide Ads