Danau Van di Turki memiliki view menawan. Tapi rupanya di balik kecantikannya danau itu merupakan jebakan hingga menyebabkan kematian.
Batu nisan dengan nomor identitas, ya nomor bukan nama, menjadi prasasti lusinan migran yang berlayar menuju Eropa. Harapan mereka tenggelam bersama perahu yang karam di Danau Van.
Ya, Danau Van. Danau dengan luas yang hampir tujuh kali ukuran Danau Jenewa itu, seakan-akan telah menjadi 'perangkap maut' bagi para migran Afghanistan, Pakistan, dan negara lain yang mendambakan masa depan yang lebih menjanjikan, baik keamanan ataupun finansial berupa pekerjaan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tenggelamnya dua kapal pada bulan Juni dan Desember, yang merenggut 68 nyawa, menegaskan bahaya dari rute yang digunakan untuk menghindari pos pemeriksaan di wilayah timur Turki. Betapa jalur yang tidak jauh dari Iran itu tidak ramah.
![]() |
Danau Van menelan korban tanpa pandang usia. Satu dari 60 migran di atas kapal yang tenggelam pada 27 Juni itu adalah Mehdi Mosin. Dia baru berusia 17 tahun.
Mehdi menumpang kapal itu dengan memanggul harapan bisa menemukan masa depan yang lebih cerah di tanah tujuan ketimbang di kampung halamannya di Kharian, di timur laut Pakistan. Dia bahkan sampai menentang ayahnya, Shafqat Mehdi, yang melarangnya untuk menuju Eropa.
Kini, ibunya sedih tak kepalang.
"Istri saya hampir tidak bangun dari tempat tidur lagi," kata Shafqat Mosin, ayah Mehdi Mosin, melalui telepon dari Pakistan, seperti yang dikutip dari AFP, Selasa (1/9/2020).
"Di malam hari, dia berteriak, meminta saya untuk membuka pintu, mengira anak kami pulang," dia menambahkan.
Shafqat ingat betul saat putranya akan meninggalkan rumah, dia telah bersikeras untuk menghentikannya. Tapi, putranya ngotot untuk meninggalkan rumah. Dia pun cuma bisa mengalah.
"Jika saya tahu itu berbahaya, saya tidak akan pernah membiarkan dia pergi," kata Shafqat penuh penyesalan.
![]() |
Turki, yang menawarkan akses jalur cepat ke Eropa selama krisis migran 2015, menjadi negara yang semakin sulit untuk dilintasi. Pertama-tama, Ankara dan Brussel meneken kesepakatan migrasi pada 2016. Kemudian, dilanjutkan langkah lain mulai 2018 dengan latar belakang krisis ekonomi di Turki.
Turki memang selalu kebanjiran migran. Turki menjadi rumah bagi sekitar empat juta migran, 3,6 juta di antaranya dari Suriah yang dilanda perang.
Berbahaya Sebelum Capai Danau
Perjalanan para migran itu sejatinya sudah amat berbahaya bahkan sebelum mencapai Danau Van. Mereka harus melintasi cukup banyak pegunungan yang berbahaya. Setiap tahun, penduduk desa menemukan mayat yang membeku setelah salju mencair di pegunungan-pegunungan itu.
Di Provinsi Van, yang berbatasan dengan Iran, dua pemakaman dibuat untuk menguburkan para migran yang tidak dapat diidentifikasi. Satu pemakaman lain, kuburan yang baru digali, menunggu korban berikutnya.
Saat cuaca bagus, danau itu tampak tidak berbahaya. Danau itu menjadi tempat wisata keluarga. Mereka bisa membawa bekal yang diletakkan di atas meja kayu sembari menyaksikan anggota keluarga lain asyik di atas papan dayung mereka.
Kawasan itu cukup bersih dengan petugas yang rutin menyapu area untuk pedestrian.
Tetapi, perairannya yang tidak dapat diprediksi tak akan memberikan ampun kepada perahu kecil yang rapuh. Apalagi, jika muatannya melebihi kapasitas. Belum lagi jika datang musim dingin, suhu udara bisa mencapai nol derajat celcius.
Muhammad, seorang pria Pakistan berusia 25 tahun, merupakan salah satu migran yang boleh beruntung. Dia menyeberangi Danau Van pada awal Maret malam dengan perahu yang kelebihan muatan dan bobrok. Dia selamat.
"Ada sekitar 50 orang di dalamnya dan hanya lima jaket pelampung," katanya.
"Ada wanita dan anak-anak. Saya terus bertanya-tanya apa yang akan kami lakukan jika kapalnya tenggelam," dia menambahkan.
Saat ombak mulai mengguncang perahunya, "Saya mulai berdoa," katanya.
"Saya melihat tatapan penumpang lain, kentara sekali semua orang takut."
Tiga bulan sebelumnya, kapal lain yang membawa migran terbalik. Akibatnya, tujuh orang tewas.
Setelah kecelakaan fatal di bulan Juni, dinas keamanan menahan beberapa penyelundup. Sejak saat itu, para pendatang dan warga mengatakan bahwa jumlah penyeberangan melalui danau, yang dilakukan hampir setiap hari, menurun tajam.
Para migran yang tidak menemukan perahu dipaksa berjalan selama berhari-hari di bawah terik matahari, melintasi ladang untuk mencari jalan lain agar tak perlu melewati pos pemeriksaan.
Di sebuah terminal bus di Tatvan, sebuah kota 140 kilometer barat Van, sekitar 20 pria kelelahan duduk kelesotan di tanah. Mereka cuma bisa menatap sepatu rusak yang ditaruh berjejer di depan mereka sembari makan dan minum bekal seadanya.
Sepatu rusak, jalur darat yang berbahaya dan perangkat Danau Van, memang menyurutkan jumlah penyeberangan, namun belum bisa menghentikannya. Mimpi untuk memiliki hidup yang lebih baik di tanah Eropa menjadi api bagi semangat migran-migran itu.
![]() |
"Ayah saya sakit. Saya harus mencari pekerjaan di Eropa," kata Mahmoud, seorang Kurdi dari Irak.
"Ini berbahaya, aku lapar, aku kedinginan, tapi aku tidak punya pilihan," dia menjelaskan.
Mahmut Kacan, seorang pengacara spesialis masalah migrasi di Van Bar Association, jumlah migran yang meninggal di Van melonjak setelah penutupan kantor cabang Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) pada 2018.
Kemudian aplikasi suaka ditangani oleh otoritas Turki. Nah, di sini masalahnya. Prosedur yang panjang dan sulit menjadi sumber iklim ketidakpastian bagi para migran, yang mau tidak mau harus menelan risiko tinggi dengan menyeberangi Danau Van dengan view menawan namun menjadi jebakan. Di sanalah mayat-mayat membeku.
Komentar Terbanyak
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Viral Keluhan Traveler soal Parkir Jakarta Fair 2025: Chaos!