Budaya mengunyah pinang ternyata dikenal juga oleh masyarakat Papua Nugini. Tapi oleh pemerintah setempat, pinang dianggap berbahaya karena bikin kecanduan.
Pinang di Papua Nugini dikenal dengan nama buai. Sama halnya dengan masyarakat Papua, masyarakat Papua Nugini juga sangat menyukai buah pinang.
Tetapi bedanya, pemerintah Papua Nugini sangat ketat mengawasi peredaran pinang. Pinang sendiri dikenal memiliki sifat psikotropika, seperti narkoba.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kebiasaan makan pinang ini menimbulkan perasaan jika belum makan pinang maka hidup tidak jadi bersemangat, sangat membosankan dan kepala akan pusing.
Mulai dari anak kecil hingga orang dewasa, mulai pagi hingga malam, setiap harinya, mereka selalu mengunyah pinang. Buah pinang juga sangat mudah dijumpai di pedesaan Papua Nugini, pohon pinang pada umumnya ditanam di sekitar pekarangan rumah warga.
Bagi mereka, saat mengunyah pinang, tubuh mulai berkeringat, serta muncul stimulan yang memberi perasaan fly, membuat bahagia dan jadi bersemangat menyelesaikan pekerjaan.
Oleh karena itu, Pemerintah Papua Nugini pun berjuang untuk mengendalikan kecanduan masyarakat terhadap buah pinang. Pemerintah Papua Nugini juga menyebut kecanduan pinang dianggap sebagai penyebab meningkatnya penderita kanker mulut di negara tersebut.
Papua Nugini diketahui memiliki tingkat kejadian kanker mulut tertinggi di dunia. Menurut WHO, hampir satu dari 500 kasus kanker mulut terjadi di Papua Nugini dan menjadi pembunuh terbesar di negara tersebut.
Keseriusan pemerintah Papua Nugini terlihat dari pengawasan yang ketat di bandara. Selain papan larangan makan pinang di area bandara, petugas bagian check-in juga akan memeriksa secara ketat setiap penumpang sebelum memasuki X-Ray, apakah membawa pinang atau tidak.
Buah pinang tidak boleh dibawa ke kabin. Maskapai Air Niugini juga tidak memperbolehkan buah pinang diangkut dalam bagasi penumpang.
WHO sendiri menyebut bahwa sirih sebagai pelengkap mengunyah pinang, memiliki bahan aktif arecoline, bekerja pada protein reseptor yang sama di otak dengan reseptor yang bekerja dengan nikotin. Bahan ini sangat adiktif dan juga bersifat karsinogenik.
---
Artikel ini dibuat oleh Hari Suroto dari Balai Arkeologi Papua dan diubah seperlunya oleh redaksi.
(wsw/ddn)
Komentar Terbanyak
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Viral Keluhan Traveler soal Parkir Jakarta Fair 2025: Chaos!