Kisah Tradisi yang Nyaris Punah di Maros

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Kisah Tradisi yang Nyaris Punah di Maros

Muhammad Bakri - detikTravel
Senin, 24 Jun 2019 08:15 WIB
Tradisi Menumbuk Gabah (Muhammad Bakri/detikcom)
Maros - Tradisi pertanian masyarakat Baniaga, Maros ini sudah nyaris punah. Apa itu? Mari kita mengenalnya melalui cerita berikut.

Dilaksanakan di Kelurahan Taroada, Kecamatan Turikale, Maros, Sulawesi Selatan. Adalah seni menumbuk gabah atau Mappadekko yang masih tetap dilaksanakan tiap tahun secara turun temurun.

Mappadekko yang merupakan salah satu rangkaian ritual dalam acara pesta panen atau Mappadendang, digelar oleh warga sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan yang telah memberikan limpahan rezeki berupa hasil panen. Selain itu, tradisi ini juga sebagai ajang silaturahmi sesama warga.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Seni menumbuk gabah dalam tradisi ini bukanlah perkara mudah. Dengan menggunakan alu dan lesung kayu, pemainnya harus harus menciptakan sebuah dentuman serta gerak yang seirama. Jika tidak, alu yang mereka gunakan bisa saling bertabrakan dan menghasilkan dentuman yang tidak terdengar berirama.

Uniknya lagi, meski para penumbuk gabah ini rata-rata sudah berusia paruh baya. Mereka tetap terlihat kuat dan bersemangat, walau alu yang mereka gunakan diatas lesung berisi gabah, beratnya mencapai 5 kilogram. Seni mappadekko ini pun telah dilakoni selama berpuluh-puluh tahun dan diwariskan dari orang tua mereka.

(Muhammad Bakri/detikcom)(Muhammad Bakri/detikcom)

"Tradisi ini kita gelar setiap tahun selepas Idul Fitri. Tujuannya itu sebagai ungkapan rasa syukur kita kepada Allah atas limpahan rezeki panen. Mappadekko ini hanya salah satu rangkaian acara saja, karena ini kita laksanakan selama 2 hari," kata tokoh adat, Akim Bando, Selasa (18/06/2019).

Sebelum ditumbuk, gabah yang dikumpulkan dari warga ini direndam selama 1 hari, lalu kemudian disangrai di atas wajan yang terbuat dari tanah liat, agar antara kulit dengan isinya mudah dipisahkan saat proses penumbukan. Tahun ini, warga menghasilkan sekitar 90 liter beras dari hasil menumbuk selama 2 hari satu malam.

"Gabah ini jenisnya ketan yang baru dipanen. Jadi bukan gabah biasa. Kita dapatkan itu dari sumbangan setiap warga yang habis panen tahun ini. Setelah kita proses, semua ada sekitar 90-an liter jadinya. Terus kita proses lagi jadi makanan yang dikenal ase lolo," lanjutnya.

(Muhammad Bakri/detikcom)(Muhammad Bakri/detikcom)

Usai ditumbuk dan dipisahkan dari dedak, beras-beras ketan itu lalu diproses menjadi makanan tradisional yang dikenal dengan nama ase lolo. Meski pengolahannya terbilang sederhana karena hanya dicampurkan kelapa, garam dan juga gula merah, namun pengerjaannya tetap dilakukan oleh mereka yang telah ahli. Jika tidak, ase lolo ini juga tidak enak dikonsumsi.

"Jadi ada dua jenis ase lolo. Ada yang manis ada yang gurih. Kalau yang manis itu dicampur kelapa dan gula. Kalau yang gurih, dicampur kelapa sama garam. Sebelum dicampur, beras ketannya disiram air panas biar lunak," terangnya.

Usai prosesi itu, pesta panen lalu dilanjutkan dengan mengarak makanan ase lolo dengan iringan gendang, dibawa ke sebuah makam leluhur mereka. Di makam itu, warga yang dipimpin oleh petuah adat atau pinati, berziarah dan berdoa kepada Tuhan untuk tetap diberikan rezeki dan dijaga dari mara bahaya.

Sebagai puncak acara, makanan ase lolo yang disimbolkan sebagai pengharapan rasa nyaman dan nikmat hidup itu, dimakan bersama di rumah petuah adat. Tak cuma itu, panganan tradisional ini juga dibungkus lalu dibagi-bagikan ke setiap rumah warga sebagai sedekah. Mereka berharap, dengan tradisi ini pun bisa tetap terjaga sebagai warisan leluhur. (bnl/fay)

Hide Ads