Lokasinya berdiri kokoh di tengah hutan Pulau Rubiah, Sabang. Padahal, situs Karantina Haji ini termewah pada masa penjajahan Belanda dan hanya ada dua di Indonesia.
Situs Sejarah Karantina Haji hanya berjarak sekitar 100 meter dari dermaga Pulau Rubiah. Begitu turun dari kapal, perjalanan dapat ditempuh dengan berjalan kaki menyusuri jalanan terbuat dari semen.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bangunan bergaya Belanda itu tampak lebih kecil dibandingkan gedung di belakangnya. Di halaman bangunan tampak lebih bersih. Di dalamnya, terdapat beberapa ruangan dalam kondisi kosong.
![]() |
Atap dan lantai bangunan rusak. Catnya mulai pudar. Berjalan sekitar 20 meter dari sana, terdapat sebuah bangunan dengan delapan ruangan. Jarak kedua gedung dipisah ilalang setinggi pinggang orang dewasa.
Kondisi di dalam bangunan sama, kosong melompong, atap rusak dan lantai pecah-pecah ubinnya. Pada Senin (24/6/2019) kemarin, Direktur Pelayanan Haji Luar Negeri Sri Ilham Lubis serta rombongan Kemenag Aceh dan Sabang berkunjung ke lokasi.
"Ini bangunan masa Belanda yang dibangun tahun 1920 dan masih ada. Tapi kondisinya memprihatinkan," kata Sri di lokasi.
"Dulu fasilitas ini termewah. Cuma ada dua di Indonesia yaitu di Sabang (Aceh) dan Pulau Seribu (Jakarta)," terang Albina.
Menurut Sri, seharusnya situs sejarah ini dapat dipugar kembali sehingga masyarakat dan jemaah haji tahu sejarah haji pada masa dulu. Setelah direnovasi, keberadaan kedua bangunan tersebut dapat menjadi lokasi wisata religi.
![]() |
"Bisa jadi wisata religi atau menapak tilas, bisa manasik haji di sini atau melihat gimana bangunan asrama haji dulu seperti apa. Mudah-mudahan dengan sudah diketahui bisa segera dibangun, direnovasi dan dilestarikan," harap Sri.
Sementara itu, Pendiri Sabang Heritage Society (SHS), Albina Ar Rahman, mengatakan, kedua bangunan yang masih tersisa di lahan seluas 10 hektare ini bergaya arsitektur ardeko. Hal ini terlihat dari bentuk bangunan yang sudah menggunakan beton, serta terdapat lubang angin.
BACA JUGA: Umrah Cuma 10 Riyal, Mau?
Di Pulau Rubiah, jumlah bangunan yang dibangun Belanda sangat banyak. Albina menyebut di antaranya ada klinik, tempat penginapan, ruang air serta listrik. Di tempat inilah para jemaah haji yang pulang dari Tanah Suci menggunakan kapal laut dikarantina selama 40 hari.
"Dulu itukan belum ada vaksin seperti sekarang. Jadi orang yang pulang antar negara itu bawa pulang penyakit jadi harus di karantina dan itu wajib," jelas Albina.
Usai melewati fase karantina, jemaah yang sehat serta bebas dari penyakit dibolehkan pulang ke tempat asal. Menurut Albina, jemaah yang menempati karantina tersebut tidak hanya berasal dari Aceh, tapi beberapa provinsi lain di Sumatera.
![]() |
Albina mengungkapkan, Belanda pada masa penjajahan membangun lokasi ini karena kepentingan politik dan ekonomi. Pulau Rubiah dipilih karena di sana terdapat pelabuhan untuk kapal-kapal besar.
Belanda kemudian memanfaatkan pembangunan tersebut untuk mengambil hati masyarakat Aceh. "Itu terbukti yang pulang haji diberi gelar haji. Itu untuk menandai masyarakat siapa yang sudah ikut sama mereka diberi gelar haji. Itu awalnya sejarah gelar haji sebenarnya," ungkapnya.
BACA JUGA: Menjelajah Isi Dalam Kabah
Penggunaan Pulau Rubiah sebagai tempat karantina berakhir ketika Jepang masuk pada 1942 silam. Seluruh bangunan berubah fungsi menjadi barak-barak tentara. Di sana, jadi markas tentara penjajah.
Dua tahun berselang tepatnya Juli 1944, Belanda kembali ke Aceh. Kali ini, mereka datang dengan sekutu dan menyerang Pulau Rubiah. Bangunan yang sudah mereka bangun sebelumnya porak-poranda. Di sana, hanya tersisa beberapa bangunan saja.
"Jadi tidak semua bangunan itu hancur karena usia, tapi dibom karena Belanda tahu Jepang bersembunyi dalam bangunan yang mereka bikin," beber Almina.
Berpuluh tahun berselang, Pemerintah Aceh merenovasi kedua bangunan tersebut pada tahun 90an. Menurut Albina, renovasi kala itu hanya mengecat ulang dan memperbaiki beberapa kerusakan. Sementara bentuk bangunan tidak ada yang diubah alias masih asli.
Kini, situs Karantina Haji ini terbengkalai. Sri dan Albina mendesak pihak terkait untuk merenovasi bangunan sejarah tersebut.
(msl/aff)
Komentar Terbanyak
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol
Tragedi Juliana di Rinjani, Pakar Brasil Soroti Lambatnya Proses Penyelamatan