"Soal pengembangan halal tourism di Pulau Santen itu hanya urusan segmentasi pasar, soal marketing, soal manajemen saja," jelas MY Bramuda dalam keterangan tertulis Sabtu (29/6/2019).
Bramuda mengatakan adanya minat pasar wisatawan perempuan yang ingin berwisata di pantai tanpa campur dengan pria. Ia menegaskan segmen pasar tersebut ada meskipun ceruknya tidak banyak dan harus dilayani. Sebagai destinasi, pihaknya mencoba menangkap potensi itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menjelaskan di antara ratusan kilometer panjang pantai di Banyuwangi yang mencapai 177 km, pantai dengan konsep halal tourism yang digagas ini hanya 750 meter.
"Jadi itu menegaskan soal urusan pasar semata, di mana Banyuwangi menyediakan pilihan. Jadi ini bukan soal maksiat atau tidak maksiat, bukan soal SARA, bukan arabisasi," tegasnya.
Menurutnya, setiap pasar yang potensial, harus digarap dengan baik, dikembangkan, dan dipromosikan dengan baik. Segmentasi itu banyak karena yang dijaring juga semakin banyak.
"Jadi ini soal pasar, urusan segmentasi saja karena ketika dikembangkan beberapa tahun lalu itu ada memang segmen pasar seperti itu," ujar Bramuda.
Bramuda menerangkan pantai tersebut bertempat di tanah milik TNI AD dan saat ini sedang ditata ulang bersama TNI AD. Pengelolaannya ke depan akan tetap melibatkan kelompok masyarakat setempat dan direncanakan akan menjadi pantai yang halal friendly tourism atau family friendly.
Sebelum sempat dikembangkan, Bramuda menambahkan, kawasan tersebut relatif kumuh. Akses jembatan menuju ke sana juga belum bagus. Kemudian Pemkab Banyuwangi melakukan penataan, termasuk melatih kelompok masyarakat setempat dan perlahan mulai ramai dikunjungi orang.
"Tapi, sekali lagi, kita bicara mekanisme pasar. Bahwa kemudian sekarang pasar kurang meminati, itu adalah mekanisme pasar. Jadi sekali lagi, ini urusan segmentasi pasar, bukan soal ideologi yang dipelintir sampai akan melakukan arabisasi," ujarnya.
Banyuwangi, sambung Bramuda, sebagai destinasi wisata selama ini dikenal dengan berbagai atraksi seni-budaya berbasis kearifan lokal khas Suku Osing yang merupakan kelompok masyarakat asli setempat. Dari 99 festival wisata setiap tahun di Banyuwangi, sekitar 75% mengangkat kebudayaan, mulai Tari Gandrung, ritual adat kebo-keboan, hingga ritual adat Tari Seblang dan Barong Ider Bumi.
"Bahkan, setiap hari ada event budaya di alun-alun Banyuwangi yang dimainkan para seniman cilik sebagai peristiwa pariwisata sekaligus regenerasi para pelaku seni," papar Bramuda.
Bramuda ingat kata-kata Menpar Arief Yahya, bahwa produk pariwisata itu adalah destinasi. Customer pariwisata itu namanya origination, atau travelers, atau wisatawannya. Strateginya DOT, destination, origination, timeline.
Lanjut Bramuda, belajar banyak tentang manajemen, baik soal pemasaran, destinasi maupun sumber daya manusia. Ia juga menjadikan tema-tema budaya sebagai daya tarik atraksi di Banyuwangi. Hal tersebut karena 60% wisman Banyuwangi tertarik kepada budayanya, 35% kepada alamnya, dan 5% karena man made atau buatan.
Oleh karena itu, pihaknya terus menggali dan melestarikan budaya lokal sebagai kekuatan destinasi. Pihaknya juga diarahkan Menpar Arief Yahya tentang prinsip penting wisata agar tetap sustainable, yakni budaya dan alam itu semakin dilestarikan semakin mensejahterakan.
"Apakah Banyuwangi hanya mengejar pasar wisata halal? Tidak. Semua segmen yang cocok dengan potensi destinasi, alam, budaya, buatan, ya dikembangkan. Kalau tidak dikembangkan, malah aneh. Semua ada pasarnya, semua menemukan destinasi yang cocok," jelasnya.
(mul/mpr)
Komentar Terbanyak
Bangunan yang Dirusak Massa di Sukabumi Itu Villa, Bukan Gereja
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Brasil Ancam Seret Kasus Kematian Juliana ke Jalur Hukum