Ada banyak cerita yang datang dari Dubai, bagian kecil Uni Emirat Arab. Penampilan kotanya yang glamor membuat sejuta kegiatan di kota ini tampak begitu menggiurkan.
Tapi kali ini saya tidak bercerita tentang kegilaan materi Dubai. Melainkan sisi hangat dan bentuk harga diri yang dijunjung tinggi dalam tiap pekerjaan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saya berada di Dubai Mall saat itu. Untuk mengambil taksi, saya harus menuju menuju basement dan mengikuti papan petunjuk arah yang sudah disediakan.
Antreannya cukup panjang, terlihat banyak turis yang menggunakan taksi sebagai transportasi publik. Sang petugas mengarahkan kami untuk naik taksi yang sudah ditentukan.
Layaknya Indonesia, Dubai punya taksi yang berukuran kecil (mobil sedan) dan berukuran sedang. Tak ada beda harga dari ukuran taksi, yang besar hanya memuat lebih banyak dari mobil kecil.
Di depan kaca supir terdapat sebuah kamera kecil. Rupanya semua aktivitas kerja dipantau oleh perusahaan.
Perjalanan lancar, meski si supir terlihat gelisah saat membawa kendaraan. Saya berpikir sendiri, mungkin supir ini sedang ada masalah.
Baca juga: Dubai, Si Kota Mewah yang Dulunya Miskin |
Tiba di depan hotel, 2 teman berebut untuk membayar. Dengan sigap, saya langsung menyerahkan lembaran uang kertas kepada supir. Saya meminta struk taksi dan menerima kembalian.
Seorang teman mengingatkan untuk kembali mengecek barang bawaan. Saya tak melihat ada barang ketinggalan. Begitu menginjakkan kaki di lobby hotel, saya sadar, hp yang saya pegang tak ada di tangan.
Saya mengecek kembali ke dalam tas, tapi tak ada penampakan hp. Saya ingat betul bahwa di dalam mobil, saya berbincang kepada salah satu teman dengan menunjukkan hp.
Hp tak bisa dihubungi karena saya menggunakan modem WiFi. Saya pun tak punya pilihan selain berbicara kepada resepsionis hotel.
Sang resepsionis bertanya, apakah saya punya receipt dari taksi tersebut. Saya mengeluarkan struk, di sana tertera ID dari supir taksi dan beberapa informasi penting.
![]() |
Jari-jarinya menari di atas telepon. Dari percakapannya, si resepsionis menjelaskan bahwa saya adalah tamu di hotelnya. Dia memberikan nama saya dan nomor kamar.
Saya agak terkejut, apakah memberikan nomor kamar adalah hal yang wajar? Tapi saya tidak bergeming dari kursi resepsionis.
Percakapan ditelepon berlangsung sekitar 15 menit, tapi rasanya seperti seabad. Telepon akhirnya ditutup.
Resepsionis memberikan secarik kertas yang bertuliskan nomor kasus. Jemari saya bergetar melihat nomor kasus yang mencapai ribuan. Hati-hati, saya bertanya kepada resepsionis.
"Apakah hp saya akan kembali? Kalau tidak, saya tidak akan menunggu," tanya saya pasrah.
Baca juga: Potret Kota Gurun Dubai yang Jadi Modern |
Dengan senyum mengembang, si resepsionis membuka hp miliknya. Ia membuka ponsel dan pesan dalam kotak masuknya. Di sana ada banyak pesan dari call center terkait dengan kasus kehilangan seperti yang saya alami.
"Ini terjadi setiap hari nona, hp Anda akan kembali. Pasti," jawabnya lembut.
Seperti mendapat kepastian hidup, saya naik ke kamar untuk packing. Saat itu pukul 21.00 waktu setempat, si resepsionis menjanjikan telepon dalam waktu satu jam.
Jam terus berdetak hingga pukul 22.30 waktu setempat. Tak ada dering telepon. Saya akhirnya turun kembali ke resepsionis untuk memastikan kedatangan supir taksi.
Berjalan pelan ke arah lobby, si resepsionis memanggil saya. Dia memberitahu bahwa sang supir taksi akan datang ke hotel saat jam kerjanya sudah selesai, kira-kira pukul 02.00 waktu setempat.
Baca juga: Foto: Kehidupan Warga Dubai di Masa Lalu |
Besok pagi saya harus checkout dari hotel jam 7 pagi. Masih banyak waktu, saya memberitahu resepsionis untuk keluar sebentar sembari menunggu kedatangan supir taksi.
"Hp nona akan kembali, tapi nanti nona harus bayar sejumlah uang perjalanan sesuai argo. Barang tersebut akan dihitung sebagai penumpang," jelas resepsionis.
Saya setuju dan meminta resepsionis untuk membayar terlebih dahulu jika saya belum kembali.
Waktu menunjukkan pukul 23.30 waktu setempat. Melewati lobby, saya hanya melengos saja tanpa berharap apa-apa. Tapi begitu saat masuk lift, si resepsionis berteriak memanggil saya.
Baca juga: Potret Cantik Dubai Dari Burj Khalifa |
Dari balik meja, si resepsionis melambaikan tangan dengan hp saya.
"Supir taksi anda adalah orang baik, dia datang buru-buru hanya untuk mengembalikan ponsel nona," si resepsionis memberikan hp beserta struk taksi.
Rupanya supir tersebut datang begitu saya keluar dari hotel. Sang supir naik ke kamar saya untuk memberikan langsung ponsel tersebut. Karena tak ada jawaban, ia kembali ke lobby dan melaporkannya kepada resepsionis.
![]() |
Saya terdiam dengan air mata yang hampir menetes. Tak mengapa kalau tadinya saya harus menunggu sampai pukul 02.00, tapi sang supir taksi datang diwaktu kerjanya karena tahu ponsel tersebut adalah barang penting. Ucapan terima kasih rasanya tak akan cukup untuk disampaikan kepada dua orang ini.
Tak ada kesempatan untuk bertemu sang supir taksi, namanya pun saya tidak tahu. Keesokan harinya, saya menceritakan hal ini kepada pemandu saya. Katanya, urusan ini adalah personal, sehingga mereka akan datang langsung ke kamar untuk memberikan barang tersebut.
Harga diri dan integritas dalam bekerja, inilah pelajaran langsung yang saya dapatkan dari orang Dubai. Tak perlu diragukan, julukan rumah kedua memang pantas untuk disematkan kepada Dubai.
(bnl/bnl)
Komentar Terbanyak
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol