Tato Papua Terancam Punah

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Tato Papua Terancam Punah

Afif Farhan - detikTravel
Senin, 16 Des 2019 21:45 WIB
Tato pada suku Sentani (Istimewa/Hari Suroto)
Sentani - Beberapa daerah di Indonesia punya tradisi tato. Tahukah kamu, kalau Papua juga punya tradisi tato dan terancam punah.

Dayak di Kalimantan punya tato Dayak. Sumatera Barat punya tato Mentawai dari Pulau Mentawai. Faktanya, Papua juga punya!

"Budaya tato di pesisir utara Papua merupakan tradisi yang diperkenalkan oleh orang Austronesia dari Asia yang bermigrasi ke wilayah Papua pada masa prasejarah sekitar 3000 tahun yang lalu," kata peneliti dari Balai Arkeologi Papua, Hari Suroto kepada detikcom, Senin (16/12/2019).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT



Pesisir Papua yang dimaksud tepatnya di daerah Sentani dan Waropen di Papua serta Sorong di Papua Barat. Untuk, tato tradisional suku Sentani, Kabupaten Jayapura yang biasa disebut 'enahu' oleh penduduk setempat.

Hari menjelaskan, tradisi tato tersebut kini mulai terlupakan. Sebabnya pengetahuan akan salah satu tradisi penduduk asli suku Sentani ini hanya terbatas pada orang yang sudah tua saja, sementara generasi muda sudah tidak ada lagi.

"Pengetahuan tato tradisional Sentani terbatas pada orang Sentani yang sudah tua. Dari sekian seni budaya Sentani yang ditampilkan di Festival Danau Sentani (FDS) dari tahun ke tahun belum pernah menampilkan tradisi tato suku Sentani. Selain itu perlunya penelitian guna mendokumentasikan tato tradisional Sentani sebelum punah," papar peneliti asal Yogyakarta tersebut.

Tato Papua Terancam PunahFoto: (Istimewa/Hari Suroto)



Bahan pembuat 'enahu' berupa arang hasil pembakaran kayu wam dicampur getah pohon sukun. Kemudian duri sagu atau tulang ikan dicelupkan ke dalam getah dan arang, lalu ditusukkan pada dada, pipi, kelopak mata, betis dan pinggul serta bagian belakang tubuh. Tato ini dibuat tiga bulan sebelum upacara perkawinan dilaksanakan.

Motif tato untuk perempuan Sentani yaitu gambar ikan sembilan, belut, dan burung cenderawasih. Fungsi tato tersebut adalah untuk mempercantik wajah pengantin wanita. Sedangkan lambang dari burung cenderawasih maupun ikan adalah seorang wanita menjadi sumber kehidupan bagi anak-anak maupun masyarakatnya.

Sementara fungsi tato bagi pria adalah untuk membuat kegantengan pengantin pria. Tato untuk pengantin pria Sentani berbentuk buaya, ikan hiu gergaji, ular dan kasuari. Hewan-hewan ini melambangkan kejantanan dari seorang pria.

"Perhiasan tubuh yang lazim dikenakan, baik oleh laki-laki maupun perempuan Sentani adalah tato pada wajah dan beberapa bagian tubuh (tangan dan kaki) yang dibuat secara permanen. Tato adalah simbol kekuasaan, kecantikan, dan status sosial seseorang. Oleh karena itu, jenis dan bentuk tato tergantung pada status sosial (ondofolo, kotelo/kepala suku, dan yobu yoholom) dan jenis kelamin," terang Hari.


Sementara itu, suku Moi di Kabupaten Sorong, Papua Barat juga memiliki tato. Tato bagi suku Moi merupakan hiasan tubuh, dan bahan pembuat tato berupa arang halus (yak kibi) hasil pembakaran kayu dicampur getah pohon langsat (loum).

Kemudian, lanjut Hari, duri dari pohon sagu atau tulang ikan dicelupkan ke dalam ramuan getah langsat dan arang yang selanjutnya ditusukkan pada bagian tubuh yang akan dibuat motif tato tradisional tersebut, bisa di bagian dada, pipi, kelopak mata, betis dan pinggul serta bagian belakang tubuh.

Motif tato ini berupa motif geometris atau garis-garis melingkar serta titik-titik berbentuk segitiga kerucut atau tridiagonal yang dibariskan. Sedangkan untuk desain tato disesuaikan dengan luas sempit bagian tubuh yang hendak ditato, misalnya tato di hidung akan mengikuti bentuk hidung.

Tato Papua Terancam PunahFoto: (Istimewa/Hari Suroto)
Sedangkan tato Waropen, lebih banyak dilakukan oleh perempuan daripada laki-laki. Selama tahun-tahun puberitas para gadis Waropen membuat banyak tato di tubuh mereka (juga onda: lukisan tentang perahu, huruf, dan tulisan), keduanya pada dada dan kaki dan pada lengan wajah.

Pola tersebut pertama kali ditujukan pada kulit dengan pemberian warna hitam, yang kemudian ditusuk-tusuk dengan menggunakan dua tulang ikan, diikatkan bersama pada sepasang batang kayu, yang dipukul pelan-pelan dengan sepotong kayu yang lain.

Kemudian luka-luka kecil tersebut digosok lagi dengan warna hitam sehingga menjadi sedikit meradang, dengan demikian motif tersebut tetap tidak dapat terhapus dalam kulit. Seluruh proses tersebut agaknya menyakitkan dan karena alasan inilah pembuatan tato dilakukan secara bertahap.

"Generasi muda saat ini sudah tidak bertato lagi, mungkin juga karena perkembangan jaman ataupun norma dan etika pekerjaan yang ada saat ini. Tato-tato tersebut harus dilestarikan dan dijaga, dengan cara melakukan penelitian, pendokumentasian, dan mewariskannya ke generasi muda," tutup Hari.




(aff/aff)

Hide Ads