Gunung Everest merupakan puncak tertinggi di dunia yang berada di rangkaian Pegunungan Himalaya. Everest masuk dalam kawasan negara Nepal, yang menjadi impian para pendaki untuk berdiri di atasnya.
Everest punya tinggi 8.848 mdpl. Lanskap alamnya sungguh mencuri hati, perjalanan ke sana pun rasanya wajib dilakukan seumur hidup sekali. Di lain sisi, tak melulu soal keindahan dan pengalaman tiada dua. Everest juga menawarkan... kematian.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Dirangkum detikcom dari berbagai sumber, Everest punya banyak cara untuk 'menyiksa' pendaki. Misalnya saja suhu minus 40 derajat Celcius dan kecepatan angin 80 km/jam.
Selain itu, ada satu wilayah yang punya nama mengerikan. Death Zone alias Zona Kematian!
Catatan BBC di tahun 2015, terdapat 200 jasad pendaki di Zona Kematian ini. Zona Kematian adalah sebutan untuk daratan di Everest yang sudah mencapai ketinggian 8.000 mdpl.
![]() |
"Bernafas pada ketinggian segitu (8.000 mdpl), sama saja dengan bernafasnya orang yang sedang sekarat," kata Jeremy Windsor.
Jeremy Windsor adalah seorang dokter yang pernah mendaki Everest di tahun 2007 bersama Ekspedisi Caudwell Xtreme. Saat berada di Zona Kematian tersebut, menurutnya suhu udara sangat tipis.
"Di atas ketinggian 12 ribu kaki (setara 3.657 mdpl), kadar oksigen berkurang 40 persen," jelas Jeremy.
David Breashears, salah seorang pendaki yang pernah mencapai Puncak Everest menjelaskan dengan simpel. Semakin tinggi, oksigen semakin tipis.
"Kayak lagi lari di treadmill, tapi nafasnya pakai sedotan," ujarnya.
![]() |
Semakin tipis oksigen khususnya di Zona Kematian, maka kematian seorang pendaki akan semakin besar. Dari oksigen yang tipis itu akan muncul beberapa kondisi medis yang mengerikan.
Ada HAPE (High Altitude Pulmonary Edema), suatu kondisi terjadinya penumpukan cairan pada paru-paru dan membuat fungsi paru-paru bisa terganggu. HAPE adalah endema paru-paru yang terjadi di tempat yang tinggi.
Kemudian HACE (High Altitude Pulmonary Edema), kondisi pembengkakan pada otak atau juga disebut edema otak. Otak akan mengalami peningkatan cairan!
Belum lagi hipoksia, saat kondisi sel dan jaringan tubuh mengalami kekurangan oksigen. Hipoksia sangat berbahaya karena akan mengganggu fungsi hati, otak, serta organ lainnya. Serta, dapat menimbulkan gejala halusinasi dan lainnya.
Kemudian ada frostbit, kondisi di mana jaringan tubuh membeku dan harus diamputasi, lalu hipotermia saat suhu tubuh turun sampai di bawah 37 derajat Celcius (suhu tubuh normal manusia), karena kedinginan akibat cuaca seperti dari suhu, hujan, dan angin.
![]() |
Kondisi-kondisi medis tersebut sudah cukup untuk menghilangkan nyawa para pendaki. Bulan Mei 2019 misalnya, kala itu 9 pendaki tewas di Hillary Step (sudah berada di atas ketinggian 8.000 mdpl lebih) karena harus menunggu pendaki lain turun dari puncak Everest.
Pendaki harus memberi waktu tubuh mereka untuk menyesuaikan diri dengan kondisi yang 'menghancurkan' tubuh di Everest. Oleh sebab itu, pendakian ke sana memakan waktu hingga satu bulan lebih.
Saat itulah, pendaki harus membiasakan diri berjalan naik ratusan meter dan kemudian turun kembali ke titik asal. Itu membuat tubuh mulai membentuk lebih banyak hemoglobin (protein dalam sel darah merah yang membantu membawa oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh) untuk mengkompensasi perubahan ketinggian. Tapi kebanyakan hemoglobin juga berbahaya karena bisa menyebabkan stroke.
Zona Kematian bak menjadi kuburan massal di Everest. Medannya yang sulit, membuat banyak pendaki harus kehilangan nyawa.
Anggota ekspedisi NOVA 1998, David Carter pernah mengungkapkan, pemandangan di Zona Kematian di Everest begitu mengerikan. Dia pun meminta para pendaki, untuk benar-benar mempersiapkan fisik, mental, dan berbagai perlengkapan sebelum mendatangi titik tertinggi di dunia itu.
"Itu bagaikan neraka yang hidup di Bumi. Ada jasad di mana-mana dan kita harus melewatinya," terangnya.
(aff/krs)
Komentar Terbanyak
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Viral Keluhan Traveler soal Parkir Jakarta Fair 2025: Chaos!