Masih segar dalam ingatan, hari itu, Minggu (2/2/2020), sebanyak 238 orang Warga Negara Indonesia (WNI) berhasil dievakuasi dari Wuhan yang kala itu menjadi pusat penyebaran virus COVID-19. Keberhasilan evakuasi ini dirayakan dengan tawa haru karena para WNI yang bisa kembali ke tanah air.
Namun di balik euforia tersebut, ternyata ada WNI lainnya yang nasibnya tak seberuntung mereka yang bisa keluar dari Wuhan. Salah satunya Humaidi Zahid, pria asal Lamongan itu harus bertahan di tengah lockdown Wuhan bersama dengan 6 WNI lainnya.
Kepada detikcom, Humaidi menceritakan alasan dari WNI yang sampai saat ini masih berada di Wuhan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ada 4 orang lagi termasuk saya ingin pulang tapi ada halangan yaitu tidak lolos (seleksi)," ujarnya.
Humaidi yang merupakan mahasiswa pascasarjana di Central China Normal University itu menuturkan, pada saat itu ia sudah dijemput menggunakan bus untuk diantar ke bandara. Sesampainya di bandara, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi namun ia gagal memenuhi syarat tersebut.
"Saat itu kita masing-masing, seluruh penumpang disuruh mengisi form kesehatan. Di form kesehatan itu ada 4 kolom (mengenai) gejala apa yang Anda rasakan? (Kolomnya) batuk, sesak napas, pusing, dan demam. Saya mencentang kolom batuk karena memang kebetulan saya batuk ringan. Karena itu saya nggak bisa ikut pulang," ungkapnya.
![]() |
Ketika mengisi kolom tersebut, Humaidi mengatakan, tidak ada dokter yang memeriksa mereka. Semua diisi berdasarkan pemahaman masing-masing WNI.
"Saya mengisi sendiri. Semua disuruh mengisi sendiri,"tuturnya.
Selain dirinya, ada dua WNI lainnya yang juga tidak memenuhi syarat kesehatan ketika sampai di bandara. "Ada dua teman lagi yang nggak lolos screening suhu tubuh. Kalau saya karena batuk, kalau mereka karena suhu tubuh mereka agak tinggi," kata dia.
Sementara itu, satu WNI lainnya gagal pulang karena lokasi tempat tinggalnya tidak mampu dijangkau bus evakuasi. "Karena memang pada saat itu banyak blokade di setiap daerah. Jadi di Provinsi Hubei sendiri ditutup dan tiap kota juga ditutup, tiap kecamatannya juga mungkin ditutup. Saya dengar dari teman saya, menunjukkan bahwa memang (bus) tidak bisa menjangkau daerah dia. (Saat itu) dia sedang main ke rumah temannya yang lokasinya agak pelosok," ujar dia.
![]() |
Mendapati fakta bahwa ia dan beberapa temannya juga tak bisa pulang ke Indonesia dan harus bertahan hidup di Wuhan, sempat membuat Humaidi merasa takut. Selama berbulan-bulan, ia tak bisa pergi kemanapun, termasuk untuk keluar dari asrama kampusnya.
"Saya sendiri, takutnya luar biasa. Kadang terlalu berlebihan karena berita banyak simpang siur. Berita itu tidak ada yang positif saat itu. Selalu berita itu menunjukkan peningkatan adanya pasien baru, terus dimana-mana mulai dikunci, orang-orang mulai nggak bisa kemana-mana, dibatasi, akses keluar dibatasi. Terus penyakit ini bisa menular lewat ini, itu, jadi banyak kabar itu yang nggak enak. Jadi saya itu semakin dengar kabar semakin takut, gelisah," ungkapnya dengan nada yang terdengar berat.
"Apalagi tekanan mental ketika saya mau pulang tapi ternyata gagal. Malah luar biasa gelisah saya, ketakutan saya. Menurut saya itu pengalaman paling nggak enak selama ini yang saya rasakan. Jadi mental saya itu dimana-mana tertekan," ucapnya.
Ketika kasus COVID-19 terus meningkat di Wuhan, Humaidi bukan saja terganggu dengan pemberitaan tetapi juga kebijakan otoritas setempat yang memberlakukan pengawasan kesehatan secara ketat. Ia mengaku mulanya tidak nyaman dengan perubahan kondisi yang semula normal menjadi penuh aturan tersebut.
"Kemana-mana kita itu kayak selalu dituduh sakit gitu lho. Kemana-mana harus tes suhu tubuh, harus pakai masker. Pas itu saya tidak sadar. Saya tidak menyadari kalau itu adalah prosedur yang harus saya jalani. Itu merupakan kewajiban, salah satu tindakan preventif untuk mencegah penyebaran virus kan, tapi saya tidak peduli saat itu karena terlalu gelisah," kata dia.
![]() |
Humaidi juga mengatakan, menaati prosedur kesehatan itu penting dilakukan untuk menekan penularan COVID-19. Dirinya sendiri sampai saat ini dalam kondisi yang sehat dengan sebelumnya telah menuntaskan masa karantina selama 14 hari usai bepergian.
Selama masa karantina di Wuhan, Humaidi beruntung karena mendapatkan bantuan makanan 3 kali sehari dari kampusnya. Selain itu, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) dan kampusnya di Surabaya yaitu Universitas Negeri Surabaya juga memberikan bantuan.
"Dari KBRI dapat dalam bentuk uang, bentuk masker, logistik dan obat-obatan, tapi saya nggak bisa ambil paket itu karena saya tidak bisa keluar untuk mengambilnya. Kalau uang dapat bantuan dari KBRI, dari kampus saya yang di Surabaya, UNESA, itu juga dapat bantuan,"paparnya.
Selain itu, untuk kesehatan mental, Humaidi juga berkomunikasi dengan sesama WNI lainnya agar mereka mampu bertahan sampai virus ini mereda.
"Kita saling menguatkan. Kita tahu sama-sama lemah, sama-sama takut. Kita saling tanya kabar," tutupnya.
Wuhan sendiri telah memutuskan untuk membuka diri pada 8 April 2020. Sebulan usai dibuka, aktivitas masyarakat berangsur pulih. Pusat bisnis kembali bergeliat dan masyarakat pun bisa melakukan perjalanan dalam dan luar kota dengan tetap mengikuti berbagai prosedur, salah satunya harus memiliki green card atau kartu bebas COVID-19.
(pin/ddn)
Komentar Terbanyak
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol