Sugapa dan Ugimba, nama dua desa yang jadi awal pendakian tim jurnalis ke Puncak Carstensz. Jaraknya sekitar 20 km dengan medan perbukitan yang naik turun. Bahkan, dinilai sebagai medan terberat.
Tim Ekspedisi Jurnalis ke Carstensz 2015 yang beranggotakan 10 orang dipecah menjadi dua. detikTravel dan Sinar Harapan, serta satu orang pendaki dan Maximus Tipagau selaku ketua Ekspedisi Jurnalis ke Carstensz 2015 berjalan ke Ugimba lebih dulu tanggal 16 Agustus 2015.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun tunggu dulu, gerombolan masyarakat setempat justru menghadang kami sebelum menginjak kaki di Ugimba. Saat itu, suasana sudah gelap karena di sana memang tidak ada listrik apalagi lampu. Kami pun sempat dibentak.
"Hei, itu senter matikan!" teriak salah seorang kepada saya.
Saya, Sulung (wartawan dari Sinar Harapan) dan Delen (perwakilan dari Palasma Lombok) hanya bisa diam saja. Maximus terlihat berdebat sengit oleh mereka, yang ternyata adalah para pemuda dan lelaki semua dengan masing-masing memegang pisau, golok atau senapan angin.
Lampu dari head lamp kami semua dalam posisi mati. Beberapa kali mereka juga sempat membentak Maximus, yang tentu saja memakai bahasa setempat, bahasa Suku Moni. Suasana diperparah ketika salah seorang porter kami membisikan sesuatu kepada Sulung.
"Itu OPM kakak, tenang saja," kata Sulung menirukan bisikan porter.
Ah, tidak! Mengapa harus malam-malam begini, di tengah hutan dan tanpa sinyal. Ditambah udara yang sangat dingin, kami benar-benar dibuat takut. Delen, yang paling muda di usianya dari kami bertiga, mengaku saking ketakutannya ingin buang air di celana.
"Buka semua tasnya! Periksa!" teriak seorang lainnya.
Mereka pun membuka semua tas carrier kami lalu mengacak-acak baju dan barang-barang pendakian lainnya. Belum selesai, mereka juga menyita kamera, KTP dan telepon seluler kami.
"Ini semua kami tahan nanti kami kembalikan," kata salah satu dari mereka.
Belum puas tampaknya, mereka kembali menggeledah pakaian kami. Jam tangan pun sempat disita. Mereka juga meminta head lamp kami, tapi berhasil kami tolak karena ini satu-satunya alat untuk berjalan di malam hari. Beruntung, mereka mengiyakan.
Kami lantas digiring menuju home stay di Ugimba. Perasaan berkecamuk di dalam hati. Apakah bisa ekspedisi ini tuntas dengan semuanya selamat, kalau awalnya saja sudah ditahan oleh OPM. Usut punya usut, di Ugimba sendiri masih banyak OPM dan para pejuangnya pun kebanyakan berasal dari sini.
"Tenang adik, semua aman. Ini hanya salah paham. Tanggal 16 Agustus, itu tidak boleh ada pergerakan malam hari karena besoknya tanggal 17 Agustus. Mereka hanya takut kalian tentara saja. Tapi tenang, mereka baik-baik dan semua barang akan dikembalikan setelah upacara 17 Agustus," papar Malama, salah seorang warga Ugimba yang dituakan dan menjadi salah satu pemandu tim jurnalis menuju Puncak carstensz.
Asal tahu saja, 17 Agustus 2015 ini merupakan kali pertama masyarakat Ugimba melakukan upacara kemerdekaan Indonesia. Maka dari itu, mereka tidak mau acaranya menjadi kacau atau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Benar kata Malama, malam hari berikutnya semua barang-barang kami dikembalikan. Sayang ada satu barang kala itu yang tidak kembali, yakni jam tangan milik Delen. Walau sudah dicari-cari, barangnya tidak juga ketemu.
Saya pun bertanya-tanya kepada Maximus, yang juga merupakan warga asli Ugimba. Apakah aman, jika turis melakukan pendakian ke Carstensz lewat Ugimba, tapi masih ada OPM di sana?
"Masyarakat di Ugimba pelan-pelan menerima pariwisata. Saya sudah bicara dengan kepala suku di sini sampai panglima perangnya. Soal keamanan, kami bisa menjamin. Hanya saja, kemarin itu ada miskomunikasi dan biasanya memang tidak seperti ini. Kemarin itu, baru sekali terjadi," ungkap Maximus.
Benar kata Maximus. Beberapa orang yang sempat menahan kami, malah jadi porter saat pendakian ke Puncak Carstensz. Mereka pun ternyata aslinya sangat ramah-ramah. Tak segan mengucapkan selamat pagi atau selamat siang, serta selalu penasaran dengan apa yang kami bawa dan kami lakukan. Saat melihat kamera misalnya, mereka tak malu untuk mendekati kami dan bertanya-tanya bagaimana cara menggunakannya.
"Aslinya mereka itu baik. Saya ajak ngobrol juga asyik, saya tanya tentang kehidupan di sini mereka mau jawab. Pengalaman pertama ketemu orang Papua nih terus langsung berbaur sama masyarakatnya," kata Delen.
Terakhir, Maximus dan Malama menyatakan siap menjamin keselamatan tim jurnalis selama perjalanan. Cerita ditahan OPM ini pun jadi pengalaman tidak terlupakan dan tidak tentu saja tidak terduga bagi kami. Padahal setelah kenal, mereka semua ramah-ramah.
(rdy/Aditya Fajar Indrawan)
Komentar Terbanyak
Prabowo Mau Borong 50 Boeing 777, Berapa Harga per Unit?
Bandung Juara Kota Macet di Indonesia, MTI: Angkot Buruk, Perumahan Amburadul
Prabowo Mau Beli 50 Pesawat Boeing dari AS, Garuda Ngaku Butuh 120 Unit