detikTravel berbincang dengan Asma Nadia, novelis dan penulis buku Jilbab Traveler. Menurut Asma, hijab bukanlah hambatan untuk traveler perempuan muslim untuk bepergian ke luar negeri. Karena, tantangannya sama saja sebenarnya dengan traveler muslim pada umumnya.
"Tantangan yang sama bagi setiap muslim sebenarnya. Soal mencari makanan halal, kemudian tempat salat. Bedanya bagi yang berjilbab ada kekhasan dalam penampilan yang bagi sebagian negara terlihat unik. Namun yang lebih sering terasa bagi saya justru kemudahan dan penampilan khusus ini menggerakkan masyarakat setempat untuk menghampiri ketika jilbab traveler terlihat bingung atau butuh bantuan," kata Asma.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Asma Nadia di Amsterdam, Belanda (Istimewa)
"Kembali ke tujuannya, bukan nggak boleh. Misalnya ke Red Light District di Amsterdam, kalau tujuannya memahami dan mengcover tulisan, bisa saja sekadar lewat atau janji interview untuk memahami lokalitas setempat. Namun nonton salah satu shownya saya rasa nggak perlu bagi muslimah berjilbab ya. Secara budaya saja tanpa bicara jilbab ini bikin risih," ujar penulis Assalamualaikum Beijing yang sudah difilmkan ini.
Namun untuk pemahaman kultural, berkunjung ke tempat ibadah umat lain di luar negeri bukanlah masalah kata Asma. Ada banyak aspek sejarah yang jilbab traveler juga perlu tahu, semisal beberapa gereja di Eropa yang dulunya masjid di Cordoba, Spanyol.
"Menurut saya nggak masalah sekadar masuk, melihat ornamen di dalamnya. Membaca penjelasan-penjelasannya. Selama nggak ikut upacara keagamaannya," jelas dia.
Asma Nadia di Verona, Italia (Istimewa)
Memakai jilbab menurut Asma justru menjadi cara yang baik untuk memperkenalkan diri dengan masyarakat setempat. Di Korea, Prancis dan beberapa negara lain, banyak warga lokal bertanya soal jilbab yang dipakai Asma dan dengan senang hati dia menjelaskan soal jilbab kepada warga setempat.
"Saya nggak merasakan diskriminasi ini. Justru kadang diskriminasi terasa ketika mendarat di tanah air. Sempat menerima perlakuan tidak menyenangkan dari petugas yang mengira saya TKW. Makanya di novel baru Jilbab Traveler: Love Sparks in Korea, ada pembahasan ini sebagai solidaritas saya terhadap para pekerja migran perempuan kita yang berjilbab dan mendapat 'perlakuan khusus' di bandara," ujarnya.
Namun Asma mengakui pernah mengalami kesulitan dalam proses imigrasi karena dia berjilbab, misalnya di Bandara Beijing, China. Petugas bandara meminta dia melepas jilbab dengan alasan pemeriksaan keamanan. Namun Asma bersikukuh dan akhirnya dicari cara lain untuk memeriksanya. Menurut Asma kejadian itu tidak sebanding dengan aneka kemudahan yang dia rasakan selama menjadi Jilbab Traveler.
Asma Nadia di Stadion Santiago Bernabeu Madrid, Spanyol (Istimewa)
"Kenyataan bahwa Allah sudah memperjalankan saya ke 60 negara 289 kota di dunia tanpa pernah melepas jilbab, ini menjadi bukti nggak masalah traveling dengan jilbab. Alhamdulillah malah dapat dukungan suami dan keluarga untuk melihat dunia dan menebar kebaikan dengan jilbab," ujarnya.
Apa yang dirasakan dan dialami Asma Nadia diamini oleh traveler berjilbab bernama Anindia. Anindia baru-baru ini pulang traveling dari Belanda. Menurut dia hijab bukan hambatan untuk traveling karena masalah yang dihadapi sama saja dengan traveler muslim lainnya mulai dari makanan halal sampai arah kiblat. Kalau ada yang bertanya soal jilbab, dia pun akan menjelaskan sebaik mungkin.
"Saya bilang kalau seperti ini pakaian yang dianjurkan di agama saya. Kembali lagi, mereka menghargai pilihan tiap orang sehingga saya yakin, nggak bakal ada masalah. Malah banyak yang memuji kalau penampilan berhijab tampak bagus dan cantik," kata Anindia.
(aff/aff)
Komentar Terbanyak
Penumpang Hilang HP di Penerbangan Melbourne, Ini Hasil Investigasi Garuda
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol