Destinasi Super Premium, begitu pemerintah menyematkan 'title' bagi Labuan Bajo. Tapi tunggu, sebelumnya ada kisah sedih di sana.
Labuan Bajo di NTT merupakan destinasi wisata yang serius digarap oleh pemerintah. Tentu, sebagai salah satu unggulan negara dan diharapkan bisa menyumbang banyak devisa.
Labuan Bajo pun masuk dalam daftar 10 Destinasi Prioritas atau juga dikenal dengan nama 10 Bali Baru pada periode pertama Presiden Joko Widodo (Jokowi). Kemudian, Labuan Bajo 'naik kelas' menjadi Destinasi Super Prioritas. Belum puas, pemerintah kemudian menamainya sebagai Destinasi Super Premium.
"Labuan Bajo ini super premium. Ini hati-hati, saya sudah ingatkan hati-hati. Jangan sampai campur aduk super premium dengan yang menengah bawah. Kalau perlu ada kuotanya, berapa orang yang boleh masuk ke Labuan Bajo selama 1 tahun," kata Presiden jokowi saat menghadiri suatu acara di Hotel Ritz Carlton, Kuningan, Jakarta, Kamis (28/11/2019).
![]() |
Maka, pembangunan infrastruktur dan fasilitas penunjang pariwisata dikebut. Pembenahan bandara, pelabuhan, sampai trotoar jalan dikerjakan semaksimal dan secepat mungkin.
Namun ada satu hal yang luput perhatian. Satu masalah 'klasik' dari Pulau Komodo di Taman Nasional Komodo yang juga bagian dari si Destinasi Super Premium Labuan Bajo.
Masalah itu adalah tidak adanya Sekolah Menengah Atas (SMA) di sana...
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
BACA JUGA: Gundah Gulana Wishnutama pada Pulau Komodo |
Akbar, salah seorang tokoh pemuda di Pulau Komodo berbincang dengan detikcom melalui sambungan telepon. Dia mengapresiasi pemerintah yang membangun pariwisata secara besar-besaran di Labuan Bajo. Sayangnya, nasib masyarakat di Desa Komodo yang berada di dalam Pulau Komodo sendiri belum terlalu diperhatikan.
Asal tahu saja, ada 2.000 jiwa penduduk di Pulau Komodo yang terbagi dalam 500 KK, 1 desa, 5 dusun dan 10 RT. Mereka sudah lama menetap di Pulau Komodo jauh sebelum pulau itu dijadikan kawasan cagar alam dan kemudian taman nasional.
"Pulau Komodo begitu mendunia, terkenal oleh turis mancanegara. Tapi kami, masyarakat Desa Komodo begitu sulit hidupnya," terang Akbar membuka perbincangan.
Akbar memberikan satu contoh, misalnya soal pendidikan. Di Pulau Komodo, hanya ada sekolah sampai tingkat SMP.
"Hanya ada SD dan SMP di sini. Untuk melanjutkan sampai ke tingkat SMA, harus ke luar pulau. Harus ke Labuan Bajo, ke kota yang mana lebih mahal ongkosnya," tutur Akbar.
![]() |
Akbar menjelaskan, pihak orang tua harus keluar uang yang tak sedikit untuk menyekolahkan anaknya sampai tingkat SMA. Harus keluar ongkos hidup di Labuan Bajo, biaya sekolah, sewa kost, dan lain-lain.
"Orang-orang tua di sini sudah malas kalau memikirkan biaya sekolah," keluhnya.
Alhasil, pendidikan anak-anak di Pulau Komodo mentok sampai SMP. Kemudian, mereka melanjutkan hidupnya menjadi nelayan atau bantu-bantu para pelaku wisata seperti menjadi ABK kapal.
"Kalau perguruan tinggi, okelah di luar pulau. Tapi untuk sekolah sampai tingkat paling tinggi, di Pulau Komodo yang sudah mendunia ini rasanya sangat sulit," papar Akbar.
Sebenarnya, masyarakat Desa Komodo sudah berjuang kepada pihak Taman Nasional Komodo untuk meminta lahan dan membangun sekolah. Tapi, hal itu menggantung dan belum ada kepastian yang jelas.
![]() |
Bukan hanya perihal pendidikan, akan tetapi masih banyak segudang masalah yang menimpa warga Desa Komodo. Beberapa di antaranya seperti listrik yang belum menyala 24 jam, pelabuhan yang kurang memadai, fasilitas kesehatan yang belum lengkap, hingga sertifikat lahan.
"Di sini hanya ada Puskesmas Pembantu (Pustu). Kebanyakan dari kami, kalau sakit parah harus dirujuk ke Labuan Bajo. Nah mereka yang sakit itu kebanyakan meninggal dunia dalam perjalanan naik boat ke Labuan Bajo," ungkap Akbar.
BACA JUGA: Data KLHK: Wisata Tak Ganggu Populasi Komodo |
Akbar berharap, pemerintah lebih memerhatikan warga Desa Komodo. Apalagi kini momentumnya sangat tepat, di mana Presiden Jokowi sedang jor-joran membangun Labuan Bajo sebagai Destinasi Super Premium.
"Kami warga Desa Komodo rasanya belum merdeka. Kami tinggal di lahan taman nasional yang sulit untuk melakukan ini, itu. Tolonglah pemerintah lebih memerhatikan kami. Kami sudah lama hidup di sini dan menjaga pulau ini," tutup Akbar.
(aff/krs)
Komentar Terbanyak
Bangunan yang Dirusak Massa di Sukabumi Itu Villa, Bukan Gereja
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Brasil Ancam Seret Kasus Kematian Juliana ke Jalur Hukum