Pembatik Lasem, Penerus Semangat Kartini dari Rembang

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Pembatik Lasem, Penerus Semangat Kartini dari Rembang

Johanes Randy Prakoso - detikTravel
Selasa, 21 Apr 2020 16:45 WIB
Pembatik dari Lasem.
Pembatik tulis dari Lasem (@awesomelasem/Instagram)
Rembang -

Hari ini, 21 April diperingati sebagai Hari Kartini. Walau telah lama tiada, semangatnya masih dapat dirasakan lewat para pembatik tulis Lasem di Rembang.

Ada banyak hal untuk mengenal dan melestarikan semangat dari RA Kartini, pahlawan nasional sekaligus pejuang emansipasi wanita di zamannya. Salah satu caranya adalah dengan menghargai perjuangan para wanita yang tak kalah hebat dengan kaum pria.

Untuk itu, detikcom pun mengajak traveler untuk mengenal para pembatik dari Lasem, sebuah Kecamatan di Kabupaten Rembang yang sudah tersohor dengan kerajinan batiknya yang khas, rumit dan berani.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mengenal para pembatik lasem lebih jauh, detikcom pun mengontak admin @awesomelasem, Fransiska Anggraini atau yang akrab disapa Chika, Selasa (21/4/2020). Sebagai pecinta batik, Chika juga kerap berinteraksi dengan para pembatik di sana dan membantu menjualkan produk mereka dengan harga yang pantas.

Di mata Chika yang sudah bermitra dengan para pembatik Lasem, para pembatik ini tak ubahnya dengan Kartini di zaman sekarang. Bedanya, mereka bergerilya lewat kain batik Lasem yang jadi salah satu wastra Indonesia.

ADVERTISEMENT

"Pastinya ya Kartini zaman sekarang, dalam artian mereka itu aku ngelihatnya biasa ibu-ibu itu mereka membatik unutk membantu perekonomian keluarga. Jadi kesetaraan itu mereka juga punya bargaining power dalam satu ikatan rumah tangga," ujar Chika.

Batik Tulis LasemBatik Tulis Lasem Foto: (@awesomelasem/instagram)

Dalam kesehariannya, para pembatik Lasem yang didominasi oleh ibu-ibu rumah tangga ini berjuang untuk hidup lewat kegiatan membatik tanpa melupakan kodrat mereka sebagai seorang ibu.

Tak jarang mereka merangkap peran sebagai tulang punggung keluarga, mengingat banyak dari suami mereka yang bekerja di sektor informal dan kerap bepergian jauh.

"Suami mereka biasanya kayak kerja di luar kota, kayak buruh harian dari supir bus antar kota dan mereka biasanya memang berjauhan hidupnya. Jadi ya mau nggak mau ada anak yang harus di-support. Dari hari ke hari ya mereka itu membatik," ungkap Chika.

Biasanya, para pembatik Lasem dan umumnya bekerja di di sebuah rumah produksi batik. Tak sedikit juga yang bekerja di sejumlah rumah pembatik atau istilahnya dalam bahasa Jawa 'pocokan' untuk mencari rezeki.

"Jumlahnya in out ya karena sistemnya ada yang tetap kerja di rumah batikan itu, ada yang freelance di beberapa rumah batik atau bahasa Jawanya 'pocokan', jumlahnya malah lebih banyak," ujar Chika.

Menyelesaikan batik sambil mengurus anak dan menjadi tulang punggung keluarga terbukti bukan perkara mudah. Ada banyak tantangan yang harus dihadapi.

"Karena mereka adalah tulang punggung dan sebagian punya anak kecil ya, jadi mereka gak bisa fokus ngebatik 100%. Di bawa ke rumah batik buat kerja anak-anak bosan ya kalau harus berjam-jam. Batikannya di bawa ke rumah, tapi gak berhasil karena lebih banyak distraksi di rumah," cerita Chika.

Dalam profil Instagram @awesomelasem, Chika juga kerap mengulas profil dari para pembatiknya. Ada seorang ibu tiga anak pembatik kain Sekar Jagad dan kain Tiga Negeri bernama Dhe Sulasih (60), yang masih membatik walau kakinya sudah tak kuat berjalan.

[Gambas:Instagram]

Ada juga Mbah Tunsripah yang umurnya diperkirakan sudah 70 tahunan. Beliau yang kini hidup seorang diri masih aktif membatik, terlepas dari keterbatasan matanya yang tak lagi bisa melihat jelas.

Padahal, membuat satu potong batik tulis Lasem bukan perkara mudah. Tergantung tingkat kesulitan, satu kain bisa selesai lebih dari seminggu bahkan sampai bulanan. Maka tak heran, kalau harga batik tulis bisa dihargai sekitar Rp 500 ribuan hingga jutaan.

Itulah inspirasi dari para pembatik tulis di Lasem yang gigih dan tak kenal menyerah, seperti Kartini di zamannya. Dengan segala keterbatasan dan jauh dari hingar bingar popularitas, mereka berjuang layaknya kaum pria tanpa melupakan peran sebagai ibu. Selamat Hari Kartini.




(rdy/ddn)

Hide Ads