Kilas Sejarah Pesawat Raksasa A380, Tak Disukai Amerika

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Kilas Sejarah Pesawat Raksasa A380, Tak Disukai Amerika

Ahmad Masaul Khoiri - detikTravel
Kamis, 14 Mei 2020 20:10 WIB
Pesawat A380 di Berbagai Maskapai
A380 dari Emirates (Foto: CNN)
Jakarta -

Inilah pesawat komersial penumpang terbesar di dunia saat ini. Pesawat ini bisa dibilang saingan juga penerus tak langsung dari Boeing B747.

Lebar sayap A380 hampir sepanjang lapangan sepakbola. Jika dikonfigurasi kelas ekonomi saja, pesawat ini dapat menampung hingga 800 orang.

A380 mampu menempuh jarak hingga selama 16 jam, hampir separuh jalan mengelilingi dunia. Pesawat ini begitu besar mewah dan disukai awak maupun penumpangnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Airbus merencanakan penjualan A380 sebanyak 750 buah. Namun, setelah 13 tahun beroperasi, produksinya malah dihentikan pada 2021 nanti dan baru sejumlah 251 pesawat yang keluar dari pabrik perakitannya di Toulouse, Prancis.

A380 baru dihargai USD 450 juta. Umurnya kini diperpendek dengan adanya pandemi Corona. Pesawat ini pernah dianggap sebagai masa depan perjalanan udara dan malah mendekati akhir perjalanannya.

ADVERTISEMENT

A380 adalah B747-nya Eropa. Airbus dan Boeing pernah dalam obrolan menggarap satu pesawat besar pengganti B747.

Pada tahun 1993, mereka bergabung untuk mempelajari ukuran pasar potensial untuk pesawat yang sangat besar. Tapi akhirnya, mereka tak mencapai kesimpulan sama dan usaha patungan tidak pernah terwujud.

Pesawat A380 dari ANAPesawat A380 dari ANA (Foto: CNN)

"Pada 1990-an kami hanya memiliki 20% pangsa pasar pesawat dan kami tidak memiliki segmen pesawat besar," kata Robert Lafontan, mantan kepala insinyur proyek A380 di Airbus.

"Kami ingin bekerja dengan Boeing karena kami pikir itu ide yang baik untuk tidak memiliki persaingan di segmen itu. Tetapi setelah beberapa saat, Airbus mengerti bahwa Boeing tidak siap untuk memiliki penerus ke 747, jadi pada tahun 1996 keputusan diambil untuk bekerja sendiri," imbuh dia.

Pada tahun 2000, Airbus memperkirakan permintaan untuk 1.200 pesawat jumbo dalam dua dekade berikutnya dan berencana untuk mengambil sekitar setengah dari pasar itu. Perkiraan Boeing sendiri sekitar sepertiga dari itu, itulah sebabnya ia memutuskan untuk berinvestasi dalam varian baru dari 747 daripada membuat pesawat jumbo baru.

Airbus terus bergerak. Dulu, proyek itu dikenal sebagai A3XX, lalu dinamai A380 dan berhasil menarik 50 pesanan awal yang menggembirakan dari enam maskapai.

Boeing menghasilkan banyak uang dengan 747 dan Airbus ingin dapat terbang dengan rute yang sama dengan 747. Contoh rute itu yakni dari London ke Singapura.

"Tujuan Airbus yakni menawarkan pesawat yang 20 hingga 25% lebih ekonomis untuk maskapai," jelas Robert.

Di sisi lain, B747 telah digunakan oleh maskapai di beberapa bandara besar. Peningkatan penumpang secara signifikan terjadi di Bandara JFK di New York, Narita di Tokyo, dan Heathrow di London membuat pesawat raksasa itu pun penuh.

Solusinya, Airbus berpendapat bahwa pesawat yang lebih besar yang bisa menampung lebih banyak penumpang dari suatu bandara. Jumlah penerbangan pun tak ditambah.

Tapi arus itu berbalik dan model 'hub and spoke' diganti dengan 'point to point'. Alih-alih membeli pesawat raksasa, maskapai memilih rute yang berbeda dan lebih layak secara finansial.

Maskapai akan membeli pesawat yang lebih kecil dan menggunakannya untuk menghubungkan bandara sekunder, yang tidak pernah penuh penumpang sejak awal.

Kata Graham Simons, dunia berubah 747 dan 380 digerus pesawat yang lebih kecil dan hemat BBM. Ia seorang sejarawan penerbangan dan penulis buku Airbus A380: A History.

Penerbangan pertama dan kenyamanan tiada dua A380...

Penerbangan pertama dan kenyamanan tiada dua A380

A380 diluncurkan pertama dari Toulouse pada awal 2005. Pesawat raksasa ini pertama kali terbang pada 27 April 2005.

Chief engineer Robert Lafontan juga menjabat sebagai tester selama periode itu. Menerbangkan A380, kata dia, meski memiliki berat lebih dari 100 ton, pendaratan dan lepas landasnya sudah seperti A319.

Pesawat A380 dengan empat mesin jet, mampu mengangkat berat lepas landas maksimum pesawat 650 ton dan mencapai ketinggian dalam 15 menit. Mereka menawarkan jangkauan hampir 15.000 kilometer, cukup untuk terbang dari Dallas ke Sydney tanpa henti.

Dibandingkan dengan pesawat bermesin ganda, pesawat dengan empat mesin jet juga membutuhkan perawatan dua kali lebih banyak. BBM-nya pun lebih banyak dan menghasilkan lebih banyak emisi karbon.

Pesawat A380 milik QantasPesawat A380 milik Qantas (Foto: CNN)

Meskipun mesin A380 tampaknya canggih pada saat dirilis. Namun, pesawat ini dikalahkan dalam hal efisiensi dan teknologinya Boeing 787 atau Dreamliner.

Pada akhirnya, konfigurasi sayap A380 dan mesin-mesinnya membuatnya tidak menguntungkan dibanding dengan generasi baru dari pesawat jarak jauh bermesin ganda.

A380 dibangun dengan sederet fasilitas untuk kenyamanan penumpangnya. Tingkat tekanan pesawat ini lebih tinggi, kebisingan yang lebih rendah, dan pencahayaan ambient yang menenangkan. Ini telah menjadi standar pada pesawat baru.

Nico Buchholz, yang bekerja di Airbus selama pengembangan A380, kemudian menghabiskan 15 tahun sebagai manajer armada di Lufthansa. Maskapai ini membeli 14 A380, dan ia setuju bahwa pesawat ini menawarkan tingkat kenyamanan yang tidak ada duanya.

Penundaan dan pembatalan pemesanan A380...

Penundaan dan pembatalan A380

Saat A380 dikirim pertama kali ke Singapore Airlines, pesawat ini dinilai ketinggalan zaman. Pengiriman pertama pada 25 Oktober 2007.

Penerbangan komersial beralih ke pesawat yang lebih efisien. Pesawat 787 dan A350 yang baru diumumkan langsung dipesan ratusan.

A380 dilanda penundaan yang menyebabkan beberapa maskapai membatalkan pesanan, dan meskipun perlu waktu bertahun-tahun sebelum 787 dan A350 memasuki layanan, maskapai sudah dapat membeli pesawat jarak jauh yang lebih kecil dan lebih hemat bahan bakar daripada A380.

Pesawat A380 di British AirwaysPesawat A380 di British Airways (Foto: CNN)

A380 tidak dibeli oleh maskapai AS. Kelangsungan hidup A380 secara tidak langsung terkait dengan Emirates, maskapai yang membeli hampir setengah pesanan.

Produksi A380 bisa berhenti lebih cepat jika maskapai yang berbasis di Dubai itu tidak memesan tiga lusin A380 pada 2018. Tetapi, bahkan Emirates mengurangi pesanan yang tersisa dari 53 menjadi 14 pada awal 2019, memilih membeli A350 sebagai gantinya, Airbus tidak punya pilihan selain menghentikan produksi, karena membuat kerugian pada setiap pesawat.

Maskapai utama Eropa memang membeli A380 tapi dalam jumlah sedang. Yang paling mengejutkan adalah Airbus gagal menjual satu pun di pasar penting, yakni Amerika.

Itu bukanlah pro-Boeing. Karena, model Airbus lainnya sangat sukses di Amerika Serikat.

American Airlines, misalnya, mengoperasikan pesawat A319 dan A321 terbesar di dunia. JetBlue, maskapai keenam terbesar di negara itu dan tidak memiliki pesawat Boeing dan hampir 80% dari pesawatnya adalah Airbus.

United memiliki pesawat A350 terbesar keempat dari semua maskapai. Maskapai penerbangan AS juga jatuh cinta dengan B747.

Delta adalah maskapai Amerika terakhir yang mengoperasikan B747 pada tahun 2018. Varian terbaru pesawat, 747-8 yang lebih panjang, tetapi tidak lebih besar daripada A380, sudah direncanakan sebagai pesawat kargo.

Namun, ada satu hal yang dapat membuat umur B747-8 lebih lama dari A380 yakni menjadi pesawat Air Force One berikutnya.

Airbus telah mengakui kesalahannya pada proyek A380. "Ada spekulasi bahwa kita 10 tahun terlalu dini, jelas bahwa kita terlambat 10 tahun," kata mantan CEO Airbus, Tom Enders saat mengumumkan penghentian produksi A380 pada 2019 lalu.

Sementara produksi akan berhenti, dukungan suku cadang pesawat masih terus berjalan. Airbus memperkirakan A380 akan terus mengudara hingga 2040-an.

Tetapi masa depan pesawat juga terkait dengan bagaimana industri penerbangan pulih dari pandemi Corona. A380 bisa terkena dampak paling parah.

(msl/ddn)

Hide Ads