Himalaya Masih Tutup, Sherpa Alih Profesi Jadi Petani

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Himalaya Masih Tutup, Sherpa Alih Profesi Jadi Petani

Johanes Randy Prakoso - detikTravel
Minggu, 31 Mei 2020 07:48 WIB
Lobuche, Nepal - 27th October 2014: Team of mountaineers trekking through the rocky moraine of the Khumbu valley along the Everest Base Camp trail from traditional teahouses overlooked by the vertiginous north faces of Taboche (6495m) and Cholatse (6440m) deep in the Himalaya mountain wilderness of the Sagarmatha National Park, a UNESCO World Heritage Site, Nepal. Composite panoramic image created from five contemporaneous sequential photographs.
Ilustrasi Himalaya (Getty Images/fotoVoyager/iStock)
Kathmandu -

Pandemi virus Corona turut membuat Pegunungan Himalaya di Nepal tertutup untuk turis. Sherpa, pemandu pendakian, pun terpaksa alih profesi menjadi petani demi berjuang hidup.

Di masa normal, sherpa, yang merujuk pada salah satu suku asli asli Tibet dikenal akan kepiawaiannya mendaki gunung, bekerja sebagai pemandu pendakian. Dahulu, Sir Edmund Hillary yang merupakan pendaki pertama Everest juga didampingi oleh sherpa Tenzing Norgay dalam mencapai puncak tertinggi dunia.

Tapi, keahlian para sherpa dalam mendaki gunung tak berarti banyak di hadapan COVID-19. Seiring dengan ditutupnya Himalaya pada bulan Maret lalu, para sherpa pun kehilangan profesi utama mereka sebagai pemandu gunung.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Salah satunya adalah sherpa top Tashi Lakpa Sherpa. Dia seorang pemandu gunung termuda yang disebut pernah mendaki Everest tanpa tabung oksigen di umurnya yang ke 19 tahun, 2005 silam.

Di hadapan Corona, Tashi hanya bisa menatap nanar akan masa depannya sebagai pemandu gunung. Terlebih, Nepal juga tengah menerapkan lockdown selama dua bulan lamanya.

ADVERTISEMENT

"Aku dapat menghidupi keluargaku untuk satu musim pendakian tanpa ekspedisi, tapi jika krisis ini terus berlarut-larut dan gunung ditutup untuk waktu uang lama, ini akan jadi masalah hebat," ujar Tashi seperti diberitakan Asia One.

Bumi Tak Dirawat, Kecantikan Tempat-tempat Ini Terancam PudarEverest ditutup sementara sejak bulan Maret lalu (Getty Images)

Tashi mungkin merupakan salah satu suku sherpa yang cukup beruntung. Sebab, cukup banyak sherpa lain yang menghadapi kondisi lebih sulit dari Tashi. Tak sedikit suku sherpa yang lebih memilih pulang ke kampung halaman.

Adalah Sonam Tshering Sherpa, salah satu yang mengalami kesulitan nyata akibat penutupan Himalaya. Tak bisa memandu pendaki gunung, ia terpaksa pulang ke kampung halamannya dan menanam kentang serta tanaman lainnya di lahan keluarga.

"Kami hanya bisa menanam satu jenis tumbuhan saja dalam setahun di pegunungan, tak cukup untuk memberi makan satu keluarga dalam beberapa bulan," ujar Sonam dari Desa Sibuje.

Berdasarkan data statistik dari petugas pariwisata lokal, ada sekitar 200.000 orang sherpa yang berprofesi sebagai pemandu gunung. Dalam setiap pendakian, mereka bisa mengantongi sekitar USD 2.500 (Rp 36 juta) hingga USD 16.500 (Rp 241 juta) untuk setiap ekspedisi ke Everest.




(rdy/fem)

Hide Ads