Planet Bumi yang indah perlahan mulai rusak karena aktivitas manusia. Di tengah pandemi, ada dampak nyata terhadap perubahan iklim dunia.
Pemanasan global adalah masalah yang terus diperbincangkan masyarakat dunia. Sebelum Corona mewabah tiap negara 'berperang' untuk menjaga kadar emisi karbon yang harus dikeluarkan agar tidak dituduh sebagai penyebab efek rumah kaca.
Adalah Conference on the Parties United Nations For Climate Change Conference (COP UNFCCC) atau Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa sebuah wujud nyata dalam memerangi perubahan iklim.
"COP UNFCCC Dirancang tahun 1992 tapi baru aktif 1994. Tujuan UNFCCC ini menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer sampai tingkat yang mampu mencegah campur tangan manusia dan sistem iklim," ujar Dr Widodo Pranowo, Peneliti Madya Bidang Oseanografi pada Pusat Riset Kelautan KKP.
![]() |
Pada tahun 1997 terbentuklah Protokol Kyoto yang disepakati oleh negara-negara. Isi protokol ini mewajibkan negara-negara maju untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.
"Dari sinilah awal mula seperti terjadi perdagangan emisi. Negara dengan emisi rendah bisa menjual emisinya ke negara maju yg membutuhkan emisi karbon karena tidak bisa menyetop pembangunan industrinya," cerita Widodo.
Kemudian pada tahun 2010 pemanasan global kembali membuat negara-negara melakukan perjanjian, kali ini namanya Perjanjian Cancun. Negara-negara yang terlibat berjanji akan menjaga pemanasan global dengan cara membatasi emisi karbon di bawah 2 derajat celsius relatif terhadap tingkat suhu pra-industri.
"Nah, di sini juga menjadi lebih ramai lagi. Karena masing-masing negara berusaha mengklaim telah menjaga suhu tersebut, namun juga masih menggenjot industrinya," ungkapnya.
Indonesia sendiri memiliki Perpres 61 dan 71 tentang Rencana Aksi Nasional dan Daerah Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca yang dibuat pada tahun 2011. Undang-undang ini disahkan agar Indonesia bisa terlihat dan terlibat dalam upaya keras mengurangi emisi karbon dunia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"RAD-GRK dan RAN-GRK cukup terkenal dan populer saat masa Presiden SBY. Emisi yang dikurangi itu adalah dari sektor pertanian, kehutanan dan lahan gambut, energi dan transportasi, industri, pengelolaan limbah, dan kegiatan pendukung lain," jelasnya.
Coba bayangkan, tiap perjalanan yang kita lakukan di laut, udara dan darat akan menghasilkan sisa emisi karbon. Bahkan listrik yang dihasilkan dari pembangkit listrik berbahan fosil akan menghasilkan emisi.
Semua emisi yang terbuang ke udara akan membentuk lapisan yang kita kenal dengan efek rumah kaca. Bagaimana cara agar emisi karbon yang terbuang tak merugikan manusia?
Tak banyak yang tahu kalau keberadaan mangrove dan lamun (seagrass) di lautan sangat membantu pengurangan emisi karbon. Mangrove dan lamun akan menyerap karbon dan menyimpannya dalam sedimen.
![]() |
"Jadi kalau merusak ekosistem mangrove dan lamun bakal turut mengurangi serapan karbon oleh ekosistem pesisir," paparnya.
Beruntungnya Indonesia, punya laut yang luas dan dalam. Ini berbanding lurus dengan volume klorofil terlarut yang sangat banyak.
"Klorofil di laut bisa menyerap emisi karbon yang sangat besar namun tidak bisa menyimpannya seperti mangrove dan lamun. Klorofil akan dimakan oleh plankton dan seterusnya yang dikenal sebagai food web," katanya.
![]() |
Namun keberadaan virus Corona mengubah semuanya. Adanya lockdown secara masif di seluruh penjuru dunia membuat emisi karbon turun.
"Emisi karbon oleh semua negara turun tanpa perlu ribut berdebat 'perang emisi' seperti yang dilakukan di COP UNFCCC. Ada hikmah bagi lingkungan untuk recovery sejenak," ujarnya.
Semoga saja dengan adanya 'tahap istirahat' ini, alam mampu untuk pulih. Manusia pun diajar untuk tidak serakah dan menjaga alam seperti yang sudah seharusnya.
"Kalau kita flashback menonton film End Game, sepertinya COVID-19 terinspirasi oleh Thanos. Thanos ingin me-reset bumi dengan melenyapkan sebagian besar populasi penduduk agar sumberdaya dukung lingkungan hidup bisa recovery. Atau jangan-jangan Thanos berubah ukuran menjadi seukuran COVID-19? Hehe," tutupnya.
(bnl/ddn)
Komentar Terbanyak
Bangunan yang Dirusak Massa di Sukabumi Itu Villa, Bukan Gereja
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Brasil Ancam Seret Kasus Kematian Juliana ke Jalur Hukum